Ada penelitian yang menyatakan bahwa tinggal bersama mertua akan berdampak buruk terhadap kesehatan perempuan, diantaranya 3X rentan mengalami sakit jantung, diabetes dan darah tinggi akibat stress. ( https://id.theasianparent.com/penelitian-tinggal-bersama-mertua-berisiko-merusak-kesehatan-wanita/)
Terlepas valid atau tidaknya penelitian tersebut, secara emosi, saya sangat setuju… 😁
Sebenarnya, stress yang saya alami ini pemicunya bukan karena mertua yang galak, cuek, suka ikut campur urusan rumah tangga, tidak… mereka sangat baik… bahkan sangat baik. Hanya saja, ada beberapa custom atau kebiasaan mereka yang bertentangan dengan saya. Misal, ibu mertua yang tidak berhijab saat keluar rumah, sehari-hari memakai bahasa Sunda kasar, fanatik pada club bola, dsb, yang sangat bertimbal balik dengan keluarga saya.
Saat awal saya sering menyampaikan nasihat ke mertua tentang kewajiban menutup aurat, membiasakan agar bicara santun, apalagi pada anak saya yang belum bisa memfilter kata, laki-laki wajib shalat berjamaah ke mushala termasuk shalat subuh, pertandingan sepakbola adalah permainan yang melenakan dan bisa menumbuhkan fanatisme dan ashobiyah, dsb… Tapi tampaknya, nasihat saya masuk ke telinga kanan keluar ke telinga kiri. Kadang saya melihatnya, apa lo? Anak kecil? Ngajarin orang tua hah?!
Namun akhirnya saya sadar, bahwa saya tidak bisa memaksakan mereka agar melakukan apa yang saya inginkan. Memaksa mereka menjadi seperti orang tua saya, yang menjadi teladan saya sepanjang masa. Saya hanya belum bisa beradaptasi dengan ini semua. Nampaknya bukan dengan komunikasi dulu… karena komunikasi produktif pun harus dilakukan dengan hati lapang dan kepala dingin…
Hanya butuh untuk belajar beradaptasi dari kejauhan. Dengan harapan, agar hati dan kepala menjadi lebih dingin, tidak stress dan tidak nyaman. Semoga suami dapat pekerjaan di luar kota agar ada alasan untuk “cut” dan praktek komunikasi produktif dengan mereka. Amiiinn 😊
#hari10
#tantangan10hari
#komunikasiprodultif
#kuliahbunsayiip
No comments:
Post a Comment