Thursday 11 January 2018

Review #6 MEMBANGUN FITRAH SEKSUALITAS ANAK

Sejak dilegalkannya pernikahan sesama jenis di Amerika Serikat di bulan Juni 2016 silam, hawa kebebasam kaum LGBT seolah bertiup ke berbagai negara termasuk Indonesia. Menurut Dwi Estiningsih, M.Psi, Psikolog Direktur Biro Konsultasi Psikologi Winata Yogyakarta, mengatakan, secara umum ranah psikologi secara umum masih menganggap LGBT termasuk penyimpangan seksual, namun pendapat ini mulai bergeser saat Asosiasi Psikiatri Amerika mengeluarkan homoseksual dari daftar gangguan jiwa. Paham homoseksual sebagai hal normal mulai disoaialisasikan secara massif dan akhirnya mulai muncul legalisasi di banyak negara. Melalui media dan media sosial para pendukung LGBT menggulirkan wacana yang mempengaruhi persepsi masyarakat dan mulai membuka lebar ruang toleransi bagi mereka.

Keluarga merupakan garda terdepan dalam menghadapi masalah ini.  Keluarga harus bisa memberikan pemahaman yang tepat mengenai fitrah seksualitas kepada anak
kokohkan proses pendidikan di rumah kita. Bimbinglah potensi fitrah tiap anggota keluarga hingga sempurna, terutama dimulai dari fitrah ayah dn fitrah ibu. 

Ingat bahwa pendidikan bukan tentang persekolahan dan pengajaran skill & knowledge, karena keduanya itu kini mudah diperoleh di dunia maya dan dimana saja. Pendidikan bukan tentang mencetak human thinking dan human doing, tetapi harus membangkitkan human being (insan kamil), manusia yang seluruh aspek fitrahnya tumbuh paripurna sesuai tahapannya.

Jadi pendidikan adalah tentang merawat, membangkitkan, menumbuhkan dan mengokohkan semua aspek fitrah anak anak kita termasuk fitrah kita sendiri sebagai orangtua lalu memandunya dengan Kitabullah agar sempurna, indah dan berbahagia. 

Fitrah seksualitas ditumbuhkan dengan kehadiran ayah ibu secara utuh sejak lahir sampai aqilbaligh, namun itu saja tak cukup. Beberapa anak yang normal fitrah seksualitasnya bisa saja terpengaruh LGBT melalui pelecehan, lingkungan dll karena fitrah individualitas dan sosialitasnya tak tumbuh baik. 

Tiada pilihan, Orangtua dan Sekolah memang harus berubah dari paradigma dan praktek pendidikan yang memberhalakan basis akademis (persekolahan) kepada pendidikan berbasis potensi fitrah menuju peradaban yang adil dan beradab. 

Tanpa fitrah yang tumbuh hebat maka mustahil bangkit manusia yang beradab. Penyimpangan fitrah hanya melahirkan generasi yang tidak beradab alias biadab sebagaimana para pengusung penyimpangan fitrah seksualitas. 

Fitrah seksualitas adalah tentang bagaimana seseorang berfikir, merasa dan bersikap sesuai fitrahnya sebagai lelaki sejati atau sebagai perempuan sejati

Menumbuhkan Fitrah ini banyak tergantung pada kehadiran dan kedekatan pada Ayah dan Ibu. 

Jadi dalam mendidik fitrah seksualitas, figur ayah ibu senantiasa harus hadir sejak lahir sampai AqilBaligh. Sedangkan dalam proses pendidikan berbasis fitrah, mendidik fitrah seksualitas ini memerlukan kedekatan yang berbeda beda untuk tiap tahap. 

👉 Usia 0-2 tahun, anak lelaki dan perempuan didekatkan pada ibunya karena ada menyusui. 

👉 usia 3 - 6 tahun anak lelaki dan anak perempuan harus dekat dengan ayah ibunya

Kedekatan paralel ini membuat anak secara imaji mampu membedakan sosok lelaki dan perempuan, sehingga mereka secara alamiah paham menempatkan dirinya sesuai seksualitasnya, baik cara bicara, cara berpakaian maupun cara merasa, berfikir dan bertindak sebagai lelaki atau sebagai perempuan dengan jelas. Ego sentris mereka harus bertemu dengan identitas fitrah seksualitasnya, sehingga 

👉 anak di usia 3 tahun dengan jelas mengatakan "saya perempuan" atau "saya lelaki"

👉 Ketika usia 7 - 10 tahun, anak  didekatkan sesuai gender

karena di usia ini ego sentrisnya mereda bergeser ke sosio sentris, mereka sudah punya tanggungjawab moral, kemudian di saat yang sama ada perintah Sholat. 
Ayah menjadi sosok yang menjelaskan "seperti apa laki-laki" 

Begitupula anak perempuan didekatkan ke ibunya agar peran keperempuanan dan peran keibuannya bangkit. Ibu menjadi sosok yang menjelaskan "seperti apa perempuan" 

👉 usia 10 - 14 dekatkan berlawanan gender
Secara syahwati, mereka sudah tertarik dengan lawan jenis. 

Maka agama yang lurus menganjurkan pemisahan kamar lelaki dan perempuan, serta memberikan warning keras apabila masih tidak mengenal Tuhan secara mendalam pada usia 10 tahun seperti meninggalkan sholat. Ini semua karena inilah masa terberat dalam kehidupan anak, yaitu masa transisi anak menuju kedewasaan termasuk menuju peran lelaki dewasa dan keayahan bagi anak lelaki, dan peran perempuan dewasa dan keibuan bagi anak perempuan.

Anak lelaki didekatkan ke ibu agar seorang lelaki mengenal sosok yang di masa balighnya sudah mengenal ketertarikan pada lawan jenis, maka di saat yang sama harus memahami secara empati langsung dari sosok wanita terdekatnya, yaitu ibunya. Agar ia pun belajar bagaimana memperlakukan wanita. 

anak perempuan didekatkan ke ayah agar seorang perempuan yang di masa balighnya sudah mengenal ketertarikan pada lawan jenis, maka disaat yang sama harus memahami secara empati langsung dari sosok lelaki terdekatnya, yaitu ayahnya, 
Anak perempuan yang tidak dekat ayahnya di tahap ini, kelak berpeluang besar menyerahkan tubuh dan kehormatannya pada lelaki yang dianggap dapat menggantikan sosok ayahnya yang hilang dimasa sebelumnya.

Semoga kita dapat merenungi mendalam dan menerapkannya dalam pendidikan fitrah seksualitas anak anak kita, agar anak anak lelaki kita tumbuh menjadi lelaki dan ayah sejati, dan agar anak anak perempuan kita tumbuh menjadi perempuan dan ibu sejati.

Beberapa tips yang bisa kita lakukan untuk mendukung fitrah seksualitas anak

  • Sejak usia dini, kenalkan jati diri dan identitas sesuai dengan jenis kelamin anak. Jangan sampai sekali-kali anak diberi mainan yang tidak sesuai jenis kelaminnya
  • Batasi penggunaan gadget atau internet
  • Dampingi anak saat menonton tv
  • Awasi lingkungan pertemanan anak, apalagi di masa pubertas
  • Ikutilah tuntunan rasul saw dalam memberikan pendidikan seksual pada anak. Seperti memisahkan tempat tidur sejak usia menjelang baligh, mengenalkan batasan aurat sejak dini(sebelum akil balig), dan tidak menyerupai lawan jenis dalam berpenampilan


Sumber
- Harry Santosa,  FBE
- Harry Santosa, Majalah Ummi edisi Desember 2015

No comments:

Post a Comment