Friday 20 May 2016

Kasus Yuyun, Butuh Solusi Sistemik



Sampai saat ini, kampanye anti kekerasan perempuan di media sosial berlangsung gencar. Tanda pagar #NyalaUntukYuyun di Twitter, Facebook, Path dan sejumlah media sosial lain telah menarik perhatian massa sejak Senin (2/5). Pasalnya, peristiwa Yuyun adalah puncak gunung es dari kasus kekerasan seksual terhadap anak. Banyak kasus serupa tak terlaporkan dan luput dari amatan masyarakat. Yuyun bukan satu-satunya korban.

Kasus kekerasan seksual yang melibatkan ‘anak’ sebagai korban maupun pelaku, perlu mendapat penanganan sistemik bukan hanya parsial. Pertama, Fakta beredarnya miras di lingkungan masyarakat. Kedua,  Akses video porno dan kemudahan mendapat barang haram tersebut hingga pelosok kampung. Ketiga, Kegagalan kurikulum pendidikan untuk mencetak generasi yang punya benteng iman. Keempat, Sanksi hukum atas kriminalitas serupa sangat ringan atas alasan HAM. Semuanya ini harus turut dibenahi, jika tidak, akan muncul lagi korban seperi Yuyun  lainnya. Na`udzubillah

Solusi Sistemik
Terungkap  pemerkosaan dan pembunuhan terhadap Yuyun dipicu oleh minuman haram. Gerombolan remaja putus sekolah yang berusia 17-21 tahun ini terlebih dahulu menenggak  tuak sebanyak 4 liter sebelum memperkosa dan menghabisi nyawa Yuyun. Pemerintah mestinya belajar dari kasus ini dengan mengkaji ulang pelarangan peredaran minuman keras, termasuk tuak. Dan tidak menganggapnya sebagai perda berbau syari`ah, yang dianggap merugikan non-muslim. Lihatlah bagaimana Pemerintah Provinsi Papua yang mayoritasnya adalah Kristiani, mampu melihat dengan jeli keburukan yang ditimbulkan miras. Telah terbit perda dan instruksi Gubernur Papua tentang pelarangan produksi, pengedaran dan penjualan minuman beralkohol di bumi Cendrawasih tersebut. Masyarakat Papua pun menganggap ini sebagai langkah protektif dari pemerintah untuk menyelamatkan dan melindungi penduduk Papua dari bahaya minuman beralkohol. Semua orang tahu minuman beralkohol tidak memiliki manfaat sedikitpun. Yang ada malah menimbulkan banyak permasalahan seperti percekcokan rumah tangga, kecelakaan lalu lintas, tindakan kriminal,  pembunuhan dan pemerkosaan. Lantas bagaimana dengan pemerintah? Terinspirasikah untuk melarang barang haram tersebut?

Selain itu, kemudahan mengakses video porno lewat hand phone membuat remaja kita menjadi lebih cepat “dewasa”.  Walaupun pemerintah telah memeranginya lewat program internet positif,  tetap saja video syur mudah diakses. Dalam kasus pornografi hal ini tampak jelas. Secara umum masyarakat mengakui pornografi-pornoaksi merupakan penyimpangan yang membahayakan. Akan tetapi, praktik ini sulit diberantas. Banyaknya benturan kepentingan yang lahir dari persepsi yang berbeda tentang manfaat-madarat telah membuat masyarakat larut dalam polemik berkepanjangan mengenai pengertian dan batasan pornografi dan persoalan-persoalan tak substantif lainnya. Ujung-ujungnya, hukum tak berdaya menjerat pelaku pornografi hanya karena begitu multiinterpretatifnya kata pornografi. Ya begitulah jika aturan tidak didasarkan pada syariah Islam. Polemik seputar UU pornografi-pornoaksi mestinya tidak terjadi jika semua pihak mau merujuk pada syariah Islam, bukan pada akal. Ini karena, syariah Islam memiliki pandangan yang jelas mengenai pornografi-pornoaksi.

Dalam Islam setiap aktivitas yang mengumbar aurat dan syahwat (pornografi-pornoaksi) dipandang sebagai pelanggaran terhadap syariah yang harus dicegah. Adapun pertimbangan mengenai dampak hanyalah penguat urgensi mencegah praktik ini. Sebab, sejatinya apa yang dilarang oleh syariah pasti mendatangkan kerusakan dan apa yang diperintahkan oleh syariah pasti mendatangkan kebaikan.

Dari sisi sistem pendidikan, pendidikan yang sekular-materialistik terbukti telah gagal menghantarkan manusia dalam hal ini remaja menjadi sosok pribadi yang utuh, yakni seorang ‘abidu al-shalih yang muslih, generasi yang cerdas, peduli bangsa dan kelak mampu menjadi pemimpin yang ideal. Ada dua hal yang menyebabkan kegagalan pendidikan tersebut. Pertama, paradigma pendidikan yang keliru dengan asas sekuler. Tujuan pendidikan yang ditetapkan juga sekedar membentuk manusia-manusia yang berpaham materialistik dan serba individualistik.Kedua, kelemahan fungsional pada tiga unsur pelaksana pendidikan, yaitu: (1) kelemahan pada lembaga pendidikan formal yang tercermin dari kacaunya kurikulum serta tidak berfungsinya guru dan lingkungan sekolah/kampus sebagai medium pendidikan sebagaimana mestinya, (2) kehidupan keluarga yang tidak mendukung, dan (3) keadaan masyarakat yang tidak kondusif. Penyelesaian problem pendidikan yang mendasar harus pula dilakukan secara mendasar, dan itu hanya dapat diwujudkan melalui perbaikan yang menyeluruh yang diawali dari perubahan paradigma pendidikan sekuler menjadi paradigma Islam. 

Adapun sanksi hukum yang diterapkan kepada para pelaku pemerkosaan dan pembunuhan terhadap Yuyun dan lainnya dianggap tidak memberi efek jera. Pasalnya hukuman penjara maximal bagi para pelaku adalah 15 tahun dan hukuman untuk anak di bwah umur hanya 5 tahun. Adapun hukuman kebiri bagi pelaku pemerkosaan masih hanya sebatas wacana yang selalu muncul-tenggelam. Muncul jika mencuat kasus serupa, lalu tenggelam setelah bosan. Hukuman ini pun masih dalam perdebatan yang semua berpandangan atas dasar HAM.

Yang mengherankan adalah mengapa banyak yang berharap hukuman berat bagi pelaku tindak pidana pemerkosa Yuyun, namun mereka benci dan antipati dengan hukum Islam jika diterapkan, Padahal coba, timbanglah keadilan seakan kita korban atau keluarga korban, dengan cara ini kita akan tahu betapa adilnya hukum Allah lewat hukum syariah. Hampir setiap keluarga korban menilai, apapun putusan hakim mereka selalu berharap agar pelaku dihukum seberat-beratnya dengan hukuman mati, atau minimal penjara seumur hidup. Dengan cara demikian kita pasti akan menyimpulkan bahwa hukum Islam adalah adil.

Dalam Islam jika perempuan diperkosa dan mempunyai bukti (al bayyinah) perkosaan, yaitu kesaksian empat laki-laki Muslim, atau jika laki-laki pemerkosa mengakuinya, maka laki-laki itu dijatuhi hukuman zina, yaitu dicambuk 100 kali jika dia bukan muhshan (belum pernah menikah), dan dirajam hingga mati jika dia muhshan (pernah menikah). (Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, Juz 7 hlm. 358). 

Sedangkan pembunuhan yang dilakukan tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat adalah perbuatan haram. Sanksi bagi orang yang melakukan pembunuhan adalah qishash, atau membayar diyat. Sanksi qishash dijatuhkan pada kasus pembunuhan sengaja, dan pelaku pembunuhan tidak mendapatkan pemaafan dari pihak keluarga yang dibunuh. Jika pelaku pembunuhan mendapatkan pemaafan dari keluarga korban, maka pelaku pembunuhan tersebut harus menyerahkan diyat syar’iy kepada keluarga korban. Sedangkan untuk kasus-kasus pembunuhan selain pembunuhan sengaja, maka pelaku hanya diwajibkan membayar diyat. Bagaimana jika berserikat Dalam Pembunuhan? Jika pembunuhan dilakukan secara berkelompok, maka orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan tersebut wajib dikenai sanksi qishash (bunuh balik). Alasannya, hadits-hadits yang berbicara tentang sanksi pembunuhan, mencakup pelaku pembunuhan tunggal maupun berkelompok. 

Dalil lain yang menunjukkan bahwasanya sekelompok orang harus dikenai sanksi yang sama jika berserikat dalam sebuah pembunuhan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Turmudziy dari Abu Sa’id al-Khudriy dan Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda;

“Seandainya penduduk langit dan penduduki bumi berserikat dalam (menumpahkan) darah seorang Mukmin, sungguh Allah swt akan membanting wajah mereka semua ke dalam neraka”.[HR. Imam Turmudziy]

Kombinasi dari masyarakat yang miskin ekonomi dan lemah iman berhadapan dengan kemudahan akses miras/narkoba dan kepornoan, hendaknya memanggil kita serta menyadari bahwa kita butuh solusi sistemik yang bisa memperbaiki keadaan di bidang ekonomi, sosial, pendidikan, pengadilan, dll, yang semua itu tidak dapat diwujudkan dalam sistem sekular demokrasi yang memisahkan agama dari kehidupan juga menjadikan akal manusia yang terbatas dan kerap berubah-ubah untuk membuat aturan. Padahal hanya Allah sang Pencipta yang paling layak membuat aturan. Oleh karena itu, Islam adalah solusi sistemik yang kita butuhkan untuk mengatasi kasus Yuyun dan kasus-kasus lainnya agar berhenti dan tak terulang lagi. InsyaAllah.... [Ika Mustaqiroh, S.Pd.I]




No comments:

Post a Comment