Sunday 15 May 2016

Muslim Saja Tidak Cukup, Apalagi Kafir?

Hary Tanoe kunjungi Ponpes Al-Ikhlas Lubuk Linggau (Sindo, 19/4/2016)


Meraih simpati umat Islam sangatlah penting bagi para politisi dalam rangka mendulang suara. Mereka sangat sadar bahwa umat Islam di Indonesia itu mayoritas. Terlebih pesantren sebagai basis agama dan massa. Para kiyainya adalah panutan masyarakat, apa yang dikatakan kiyai, dilakukan oleh masyarakatnya.

Seperti yang telah dilakukan oleh Harry Tanoe - politisi dari partai Perindo. Ia berpakaian ala muslim, mendatangi pesantren di Kendal, Batang dan Lubuk Linggau, Sumatera Selatan dalam rangka safari Ramadhan. Ia disambut bagaikan ulama kharismatik oleh para santri. Padahal dia non-muslim.

Umat Islam mungkin belum menyadari bahwa nilai jual kita sangat tinggi. Khususnya menjelang pemilu. Mereka mendatangi pesantren, berbaju koko, istrinya yang tak pakai kerudung pun tiba-tiba berkerudung. Mereka bahkan mendatangi tokoh-tokoh Islam, bersilaturahmi, meminta dukungan dengan bahasa yang sehalus mungkin.

Maka, mereka pun menjual agama dengan cara-cara seperti yang telah disebutkan di atas. Islam beserta simbol-simbolnya mereka jadikan bahan jualan dalam rangka mendulang suara.Tentu saja, strategi seperti ini sangat terbukti ampuh. Maka mereka pun terus mengulanginya, lalu diikuti oleh politisi-politisi lain.

Sayangnya, kita umat Islam hanya mereka jadikan sebatas komoditas, sebatas bahan jualan. Sebab setelah kampanye berakhir, setelah mereka berkuasa, umat Islam justru dianaktirikan. Mereka membunuh umat Islam lewat senjata Densus88. Mereka melarang penggunaan jilbab di perusahaan-perusahaan. Mereka menuduh pesantren sebagai sarang teroris. Pengajian di Monas dilarang, tapi perayaan Paskah dan Tahun Baru dibiarkan saja. Dan masih banyak kebijakan serta tindakan lainnya yang sangat merugikan umat Islam.



Umat Islam malah membiarkan para politisi tersebut menjual agama kita. Bahkan kita dengan entengnya berkata, “Lebih baik pemimpin kafir tapi bersih daripada muslim tapi koruptor.” Tentu saja ini adalah statement sesat dan berbahaya. Seolah-olah semua orang kafir itu baik dan semua orang Muslim itu koruptor. Padahal tidak seperti itu. Kebetulan saja para koruptor itu beragama Islam, agama mayoritas.

Pemimpin Umat Islam Harus Muslim
Ada banyak dalil yang melarang orang-orang kafir menjabat sebagai pemimpin umat Islam;
Pertama, Allah swt melarang kaum Muslim membuka jalan kepada orang kafir untuk menguasai kaum Muslim;
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا
Dan sekali-kali Allah tidak akan pernah memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang Mukmin”. [TQS An Nisaa’ (4):141]

Kedua, Allah swt melarang kaum Muslim menjadikan orang-orang kafir memimpin kaum Muslim;
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nashrani menjadi walimu (pemimpinmu); sesungguhnya sebagian mereka adalah wali bagi sebagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi wali (pemimpin), maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 51); dan lain sebagainya.

Ketiga, Allah swt mewajibkan taat kepada ulil amriy yang Muslim. Allah swt berfirman;

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
”Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.[TQS An Nisaa’ (4):59]

Jelaslah, dalil di atas secara tegas melarang kaum Muslim dipimpin oleh non Muslim, apalagi ridho dipimpin olehnya.

Tidak Hanya Muslim, Harus Menerapkan Syariat
Syarat seorang kepala negara tidak hanya harus Muslim, akan tetapi ia dipilih untuk menerapkan hukum syariat. Jika seorang pemimpin tidak menjalankan dan menerapkan syariat Islam, maka ia tidak sah menduduki jabatan kepemimpinan di dalam Islam. Sebab, seorang pemimpin (kepala negara) diangkat untuk menerapkan syariat Islam, bukan untuk menegakkan sistem pemerintahan kufur dan menerapkan hukum-hukum kufur.

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” ]TQS Al Maidah (5): 44].

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” [TQS Al Maidah (5):47].

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” [TQS Al Maidah (5): 45]

Ayat-ayat ini telah memberikan batasan yang sangat jelas kepada kepala negara agar ia mengatur urusan-urusan rakyatnya hanya berdasarkan hukum-hukum Allah swt. Dengan demikian, seorang penguasa dalam menjalankan urusan pemerintahannya harus terikat dengan syariat Islam. Seorang kepala negara dilarang memecahkan suatu masalah berdasarkan hukum kufur atau berusaha mengkompromikan Islam dengan sesuatu yang bukan berasal dari Islam. Allah SWT berfirman dalam khithab-Nya kepada Rasul;

وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati- hatilah kamu kepada mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu” (TQS. Al Maidah [5]: 49).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwasanya seorang kepala negara wajib menerapkan syariat Islam, dan mengatur seluruh interaksi yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dengan hukum syariat semata. Dan hal ini hanya bisa diwujudkan jika sistem pemerintahan yang ditegakkan di tengah-tengah rakyat adalah Khilafah Islamiyyah. Walhasil, bagaimana mungkin seorang kepala negara bisa menerapkan dan mengatur seluruh urusan rakyat hanya dengan syariat Islam, sementara itu, sistem pemerintahan yang diberlakukan adalah sistem pemerintahan demokrasi sekuler?


Sistem demokrasilah yang memberikan peluang kepada orang kafir untuk memimpin Muslim. Dalam demokrasi merupakan HAM-nya orang kafir dipilih untuk memimpin rakyat baik Muslim maupun non Muslim. Di negeri ini tidak ada satu pun pasal yang melarang orang kafir menjadi pemimpin. Merevisi UU dengan mencantumkan syarat jadi pemimpin haruslah beragama Islam bisa dikatakan mustahil selama negeri yang mayoritas berpenduduk Muslim ini berpegang pada patokan demokrasi.


Oleh karena itu, umat Islam harus bersegera mencampakkan sistem kufur demokrasi seraya menggantinya dengan syariah yang diterapkan secara kaffah dalam naungan khilafah. Agar umat Islam tidak lagi dipimpin oleh seorang kafir. Tapi oleh Muslim dan menjalankan syari`at Islam, sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah SWT. Wallahu a`lam. [Ika Mustaqiroh]

No comments:

Post a Comment