Ujian Nasional 2013
sudah digelar. Begitupun pengumumannya sudah dilaksanakan. Awalnya banyak yang
menganggap penyelengaraan UN 2013 akan menjadi Ujian Nasional terbaik di negeri
ini. Hal ini karena adanya perubahan
sistem yang
diterapkan, mulai dari jenis soal dan akumulasi penilaian. Dimana jenis soal
dalam satu ruangan yang terdiri dari 20 siswa digunakan 20 jenis soal, artinya tiap
siswa mendapatkan soal yang berbeda. Dengan harapan bisa menghilangkan kecurangan
yang dilakukan para siswa atau pihak sekolah. Berbeda dengan tahun kemarin, Cuma
ada 5 jenis soal yang berbeda dalam satu ruang ujian. Nilai kelulusan pun tidak
hanya ditentukan pada saat UN saja, tapi akumulasi dari nilai semester 3, 4, 5 dan
nilai UN. Sekilas sudah terlihat baik, tapi nyatanya tidak
demikian.
Sejak hari pertama pelaksanaan
Ujian Nasional, media-media TV memberitakan kekisruhan Ujian Nasional SMA/sederajat
di berbagai daerah. Dilaporkan banyak keterlambatan waktu pelaksanaan ujian.
Ada yang molor 1 jam, ada yang 10 jam, bahkan di 11 provinsi terjadi penundaan
waktu ujian, semula dijadwalkan hari senin menjadi hari Kamis. Selain telatnya
pendistribusian naskah soal ke tiap sekolah, masalah lain seperti kertas
jawaban tipis mudah sobek, jenis soal dan nomer soal tidak lengkap. Kondisi ini
tentu membuat frustasi para peserta, guru-guru dan Dinas Pendidikan. Tapi beruntung,
pada UN SMP/MTs dan SD, tidak ada masalah seperti yang terjadi pada level
SMA/Sederajat.
Dari kejadian ini, para pelaku pendidikan membahas dengan serius penyebab kejadian ini. Banyak kalangan yang fokus membahas kekacauan distribusi naskah soal UN dan menginvestigasi proses tender percetakan. Ke depan, percetakan naskah dan distribusi UN tingkat SMA dan SMP ini tidak dilakukan oleh pusat, tapi dilakukan pemerintah provinsi sebagaimana SD.
Sebenarnya, kekacauan yang terjadi pada pelaksanaan UN kemarin itu bukan sebatas kesalahan teknis, tapi ada hal penting lain yang luput dari perhatian kita semua. Yaitu, sudah sejauh mana efektifitas Ujian Nasional mampu mengukur kualitas pelajar Indonesia? Mengingat adanya kesimpang siuran standar out put dunia penidikan saat ini.
Orak-Arik
Standar Kelulusan
Bila kita cermati, standar
kelulusan UN masih saja memakai standar kognitif, yaitu pengakumulasian nilai
dari semester 3, 4, 5 dan nilai UN. Tanpa melihat lagi seberapa nilai yang
diperoleh siswa diluar dari kognitifnya. Misalnya saja, nilai sikap,
kepribadian dan prestasi bakatnya. Walaupun penilaian itu telah disebut dalam
lapor, nyatanya itu sebatas pemanis saja. Yang dikatakan naik dan lulus, dia
yang nilai akdemiknya baik, walaupun sikap dan akhlaknya bobrok. Penilaian
semacam itu jelas bertentangan dengan fungsi dan tujuan pendidikan.
Fungsi dan tujuan pendidikan nasional berdasarkan UU Sistem Pendidikan Nasional .No. 20 Tahun 2003 tertera pada Bab II Pasal 3 yaitu : “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, sehat, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Dari UU tersebut mengisyaratkan bahwa pendidikan kita harus memiliki karakter positif yang kuat, artinya pendidikan tidak semata berorientasi pada aspek kognitif, melainkan secara terpadu menyangkut tiga dimensi taksonomi pendidikan, yakni: kognitif (aspek intelektual : pengetahuan, pengertian, keterampilan berfikir), afektif (aspek perasaan dan emosi: minat, sikap, apresiasi, cara penyesuaian diri), dan psikomotor (aspek keterampilan motorik), serta berbasis pada karakter positif dengan berbagai indikator.
Namun, tujuan dan fungsi pendidikan nasional saat ini belum berjalan secara maksimal. Ini karena pendidikan kita masih lebih mengutamakan ranah kognitif. Hal ini tentunya selain bertentangan dengan UU juga bisa berdampak negatif terutama bagi peserta didik yang memiliki kecerdasan diluar kecerdasan kognitif, pendidikan kita baru melakoni salah satu misi pendidikan, yaitu transformasi ilmu dalam upaya pengembangan intelektual, sementara isi moral masih belum diperhatikan. Secara normatif, dalam Islam sendiri keberhasilan manusia diukur dari akhlak dan kualitas amalnya. Alasannya sangat sederhana karena akhlak adalah simbol utama kemanusiaan. Ini pula yang menjadi modal utama manusia dalam menjalin komunikasi sosial dan alat kontrol atas capaian intelektual seseorang sehingga pengetahuannya tidak disalahgunakan.
Abai terhadap moral peserta didik juga akan merusak akal, jiwa, raga dan masa depan mereka. Sebagai contoh, pernah dilaporkan sekelompok siswa SMA dan SMK di Situbondo yang menggelar arisan yang tak lazim, yaitu arisan untuk booking PSK. Dimana kasus ini terungkap dari pengakuan seorang pelacur berinisial YL pengidap HIV/AIDS yang mengaku dirinya pernah `dipake` oleh 6 anak laki-laki berseragam putih abu-abu, saat dirazia oleh Komisi Penanggulangan HIV/AIDS Situbondo (liputan6, 6/12). Kejadian ini tentu mencoreng wajah pendidikan kita. Pelajar tersebut dipastikan akan menjadi pengidap HIV/AIDS berikutnya.
Begitu juga dengan kasus-kasus tawuran dan narkoba yang dilakukan oleh para pelajar.
Jika moralitas dan karakter peserta didik gagal dibentuk, itu
artinya proses pendidikan gagal total.
Sebab keselarasan dan harmonika sosial, serta dinamika pembangunan tidak
akan berjalan baik, bahkan berpotensi gagal karena dikendalikan oleh
individu-individu rusak akhlaknya, bisa jadi cerdas tetapi egois dan
hedonis-materialis. Inilah yang sedang menimpa Indonesia saat ini dan menjadi
dalih Kemdikbud untuk memerogramkan pendidikan karakter di sekolah.
Sayangnya program pendidikan
karakter itu tidak sejalan dengan kebijakan bapak mentri ini. Salah satu
contoh, pada UN kemarin, Mentri Pendidikan M. Nuh memberi kebijakan bahwa siswi
yang hamil di luar nikah boleh mengikti Ujian Nasional.
"Apapun kondisi
anak itu, baik siswa yang terlibat aksi kriminal maupun siswi yang hamil di
luar nikah berhak diberi kesempatan untuk ikut UN, tidak boleh ada pembedaan.
Kalau siswa yang terlibat aksi kriminal dan ditahan di penjara saja masih boleh
mengikuti UN, maka siswi yang hamil pun harusnya boleh ikut UN". (Hukumonline.com,
15/4/2013)
Tak bisa dibayangkan, kenapa beliau mengambil kebijakan yang seperti itu? Bukankah beliau yang akan menerapkan kurikulum berkarakter, tapi seolah beliau sendiri tidak berkarakter. Menganggap perilaku kotor pelajar ini bisa ditolerir.
Sebuah Hotline
Pendidikan Jawa Timur melaporkan, ada lonjakan drastis siswi yang hamil di luar
nikah yang mengikuti UN pada 15-18 April 2013 lalu di Wilayah Surabaya. Disebutkan
ada tujuh siswi yang hamil, padahal UN sebelumnya hanya ada tiga siswi hamil
yang ikut UN. (Okezone.com, 1/4/2013).
Akan seperti apa
kondisi pelajar kita dimasa yang akan datang jika kondisi siswa-siswi Indonesia
terus seperti ini?
Hipokritisme Karakter
Bila kita membahas nilai-nilai karakter atau moral, standar
apa yang akan dipakai? Apakah nilai-nilai karakter bangsa ini? Rasanya tidak. Bukankah
karakter bangsa Indonesia kini telah tergerus oleh kepentingan penguasa sehingga
tidak memiliki nilai-nilai karakter yang baik lagi? Karena jika bangsa ini benar
memiliki nilai-nilai karakter, mana mungkin bangsa ini merestui ajang Miss
World digelar di Indonesia? Ajang yang sejatinya melecehkan perempuan, menjadikan
perempuan sebagai barang komoditi, objek seksual dan pendongkrak bisnis saja
semata? Pemerintah berdalih akan terjadi peningkatan devisa negara jika turis
mancanegara bertandang ke Indonesia. Perusakan moral yang dilegalisasi. Begitu
pula saat POLRI membuat aturan POLWAN wanita dilarang mengenakan kerudung demi menghemat
anggaran pengadaan seragam. Pemerintah sekali lagi tidak bicara karakter, justru
menikam karakter itu sendiri.
Lalu kita bertanya, Tuhan yang mengajari kita nilai-nilai
moral/karakter diaplikasikan di sebelah mana? Sila Ketuhanan Yang Maha Esa itu,
pemerintah terapkan dimana? Pemerintah hanya menerapkan sila Keuangan Yang Maha Esa. Karena yang selalu
jadi tujuan adalah uang uang dan uang; devisa, penghematan anggaran, dsb, yang
entah itupun menguap ke mana.
Kalau saja kita sungguh-sungguh mengintegrasikan kualitas intelektual dan moral tiap peserta didik, mungkin tidak akan ada siswa yang mencontek ketika ujian, sehingga pemerintah tak perlu repot-repot membuat 20 jenis soal seperti itu. Para siswa tidak akan mencontek karena mental dan sikap jujur, rajin belajar mewujud dalam diri mereka. Begitu juga tak akan ada lagi yang tawuran, narkoba dan sex bebas, karena mereka tahu, itu perbuatan yang keji, dibenci Allah, merugikan diri sendiri dan orang lain. Namun tak ada kata terlambat, para pegiat pendidikan saat ini harus berupaya mewujudkan agar karakter dan moral pelajar harus ditingkatkan dan menjadi penentu kelulusan siswa ke depan.
Namun, lagi-lagi pertanyaan yang muncul adalah, nilai-nilai karakter
yang diinginkan itu seperti apa? Apakah standar barat yang jelas-jelas beraqidah
sekularisme? Ataukah standar Islam yang terangkum dalam aqidah akhlak yang
berasal dari syari`ah Islam? pilihan kedua ini masih menjadi perdebatan,
padahal apa madhorotnya sih kalau menjadikan Indonesia bersyari`ah? Padahal
dengan itu generasi bangsa ini bisa jauh lebih baik. Kita lihat saja nanti.
[Ika Mustaqiroh]
*Artikel ini dibuat sebagai tugas mandiri Mata Kuliah Administrasi Pendidikan
Dosen Pengampu: Dr. Farihin Nur, M.Pd
[Ika Mustaqiroh]
*Artikel ini dibuat sebagai tugas mandiri Mata Kuliah Administrasi Pendidikan
Dosen Pengampu: Dr. Farihin Nur, M.Pd
No comments:
Post a Comment