Wednesday, 12 June 2013

Evaluasi Ujian Nasional 2013



Ujian Nasional 2013 sudah digelar. Begitupun pengumumannya sudah dilaksanakan. Awalnya banyak yang menganggap penyelengaraan UN 2013 akan menjadi Ujian Nasional terbaik di negeri ini. Hal ini karena adanya perubahan sistem yang diterapkan, mulai dari jenis soal dan akumulasi penilaian. Dimana jenis soal dalam satu ruangan yang terdiri dari 20 siswa digunakan 20 jenis soal, artinya tiap siswa mendapatkan soal yang berbeda. Dengan harapan bisa menghilangkan kecurangan yang dilakukan para siswa atau pihak sekolah. Berbeda dengan tahun kemarin, Cuma ada 5 jenis soal yang berbeda dalam satu ruang ujian. Nilai kelulusan pun tidak hanya ditentukan pada saat UN saja, tapi akumulasi dari nilai semester 3, 4, 5 dan nilai UN. Sekilas sudah terlihat baik, tapi nyatanya tidak demikian.
Sejak hari pertama pelaksanaan Ujian Nasional, media-media TV memberitakan kekisruhan Ujian Nasional SMA/sederajat di berbagai daerah. Dilaporkan banyak keterlambatan waktu pelaksanaan ujian. Ada yang molor 1 jam, ada yang 10 jam, bahkan di 11 provinsi terjadi penundaan waktu ujian, semula dijadwalkan hari senin menjadi hari Kamis. Selain telatnya pendistribusian naskah soal ke tiap sekolah, masalah lain seperti kertas jawaban tipis mudah sobek, jenis soal dan nomer soal tidak lengkap. Kondisi ini tentu membuat frustasi para peserta, guru-guru dan Dinas Pendidikan. Tapi beruntung, pada UN SMP/MTs dan SD, tidak ada masalah seperti yang terjadi pada level SMA/Sederajat.

Dari kejadian ini, para pelaku pendidikan membahas dengan serius penyebab kejadian ini. Banyak kalangan yang fokus membahas kekacauan distribusi naskah soal UN dan menginvestigasi proses tender percetakan. Ke depan, percetakan naskah dan distribusi UN tingkat SMA dan SMP ini tidak dilakukan oleh pusat, tapi dilakukan pemerintah provinsi sebagaimana SD.

Sebenarnya, kekacauan yang terjadi pada pelaksanaan UN kemarin itu bukan sebatas kesalahan teknis, tapi ada hal penting lain yang luput dari perhatian kita semua. Yaitu, sudah sejauh mana efektifitas Ujian Nasional mampu mengukur kualitas pelajar Indonesia? Mengingat adanya kesimpang siuran standar out put dunia penidikan saat ini.

Orak-Arik Standar Kelulusan
Bila kita cermati, standar kelulusan UN masih saja memakai standar kognitif, yaitu pengakumulasian nilai dari semester 3, 4, 5 dan nilai UN. Tanpa melihat lagi seberapa nilai yang diperoleh siswa diluar dari kognitifnya. Misalnya saja, nilai sikap, kepribadian dan prestasi bakatnya. Walaupun penilaian itu telah disebut dalam lapor, nyatanya itu sebatas pemanis saja. Yang dikatakan naik dan lulus, dia yang nilai akdemiknya baik, walaupun sikap dan akhlaknya bobrok. Penilaian semacam itu jelas bertentangan dengan fungsi dan tujuan pendidikan.

Fungsi dan tujuan pendidikan nasional berdasarkan UU Sistem Pendidikan Nasional .No. 20 Tahun 2003 tertera pada Bab II Pasal 3 yaitu : “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, sehat, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Dari UU tersebut mengisyaratkan bahwa pendidikan kita harus memiliki karakter positif yang kuat, artinya pendidikan tidak semata berorientasi pada aspek kognitif, melainkan secara terpadu menyangkut tiga dimensi taksonomi pendidikan, yakni: kognitif (aspek intelektual : pengetahuan, pengertian, keterampilan berfikir), afektif (aspek perasaan dan emosi: minat, sikap, apresiasi, cara penyesuaian diri), dan psikomotor (aspek keterampilan motorik), serta berbasis pada karakter positif dengan berbagai indikator.

Namun, tujuan dan fungsi pendidikan nasional saat ini belum berjalan secara maksimal. Ini karena pendidikan kita masih lebih mengutamakan ranah kognitif. Hal ini tentunya selain bertentangan dengan UU juga bisa berdampak negatif terutama bagi peserta didik yang memiliki kecerdasan diluar kecerdasan kognitif, pendidikan kita baru melakoni salah satu misi pendidikan, yaitu transformasi ilmu dalam upaya pengembangan intelektual, sementara isi moral masih belum diperhatikan. Secara normatif, dalam Islam sendiri keberhasilan manusia diukur dari akhlak dan kualitas amalnya. Alasannya sangat sederhana karena akhlak adalah simbol utama kemanusiaan. Ini pula yang menjadi modal utama manusia dalam menjalin komunikasi sosial dan alat kontrol atas capaian intelektual seseorang sehingga pengetahuannya tidak disalahgunakan.

Abai terhadap moral peserta didik juga akan merusak akal, jiwa, raga dan masa depan mereka. Sebagai contoh, pernah dilaporkan sekelompok siswa SMA dan SMK di Situbondo yang menggelar arisan yang tak lazim, yaitu arisan untuk booking PSK. Dimana kasus ini terungkap dari pengakuan seorang pelacur berinisial YL pengidap HIV/AIDS yang mengaku dirinya pernah `dipake` oleh 6 anak laki-laki berseragam putih abu-abu, saat dirazia oleh Komisi Penanggulangan HIV/AIDS Situbondo (liputan6, 6/12). Kejadian ini tentu mencoreng wajah pendidikan kita. Pelajar tersebut dipastikan akan menjadi pengidap HIV/AIDS berikutnya.

Begitu juga dengan kasus-kasus tawuran dan narkoba yang dilakukan oleh para pelajar.
Jika moralitas dan karakter peserta didik gagal dibentuk, itu artinya proses pendidikan gagal total. Sebab keselarasan dan harmonika sosial, serta  dinamika pembangunan tidak akan berjalan baik, bahkan berpotensi gagal karena dikendalikan oleh individu-individu rusak akhlaknya, bisa jadi cerdas tetapi egois dan hedonis-materialis. Inilah yang sedang menimpa Indonesia saat ini dan menjadi dalih Kemdikbud untuk memerogramkan pendidikan karakter di sekolah.
Sayangnya program pendidikan karakter itu tidak sejalan dengan kebijakan bapak mentri ini. Salah satu contoh, pada UN kemarin, Mentri Pendidikan M. Nuh memberi kebijakan bahwa siswi yang hamil di luar nikah boleh mengikti Ujian Nasional.
"Apapun kondisi anak itu, baik siswa yang terlibat aksi kriminal maupun siswi yang hamil di luar nikah berhak diberi kesempatan untuk ikut UN, tidak boleh ada pembedaan. Kalau siswa yang terlibat aksi kriminal dan ditahan di penjara saja masih boleh mengikuti UN, maka siswi yang hamil pun harusnya boleh ikut UN". (Hukumonline.com, 15/4/2013)

Tak bisa dibayangkan, kenapa beliau mengambil kebijakan yang seperti itu? Bukankah beliau yang akan menerapkan kurikulum berkarakter, tapi seolah beliau sendiri tidak berkarakter. Menganggap perilaku kotor pelajar ini bisa ditolerir.
Sebuah Hotline Pendidikan Jawa Timur melaporkan, ada lonjakan drastis siswi yang hamil di luar nikah yang mengikuti UN pada 15-18 April 2013 lalu di Wilayah Surabaya. Disebutkan ada tujuh siswi yang hamil, padahal UN sebelumnya hanya ada tiga siswi hamil yang ikut UN. (Okezone.com, 1/4/2013).
Akan seperti apa kondisi pelajar kita dimasa yang akan datang jika kondisi siswa-siswi Indonesia terus seperti ini?

Hipokritisme Karakter
Bila kita membahas nilai-nilai karakter atau moral, standar apa yang akan dipakai? Apakah nilai-nilai karakter bangsa ini? Rasanya tidak. Bukankah karakter bangsa Indonesia kini telah tergerus oleh kepentingan penguasa sehingga tidak memiliki nilai-nilai karakter yang baik lagi? Karena jika bangsa ini benar memiliki nilai-nilai karakter, mana mungkin bangsa ini merestui ajang Miss World digelar di Indonesia? Ajang yang sejatinya melecehkan perempuan, menjadikan perempuan sebagai barang komoditi, objek seksual dan pendongkrak bisnis saja semata? Pemerintah berdalih akan terjadi peningkatan devisa negara jika turis mancanegara bertandang ke Indonesia. Perusakan moral yang dilegalisasi. Begitu pula saat POLRI membuat aturan POLWAN wanita dilarang mengenakan kerudung demi menghemat anggaran pengadaan seragam. Pemerintah sekali lagi tidak bicara karakter, justru menikam karakter itu sendiri.
Lalu kita bertanya, Tuhan yang mengajari kita nilai-nilai moral/karakter diaplikasikan di sebelah mana? Sila Ketuhanan Yang Maha Esa itu, pemerintah terapkan dimana? Pemerintah hanya menerapkan sila Keuangan Yang Maha Esa. Karena yang selalu jadi tujuan adalah uang uang dan uang; devisa, penghematan anggaran, dsb, yang entah itupun menguap ke mana.

Kalau saja kita sungguh-sungguh mengintegrasikan kualitas intelektual dan moral tiap peserta didik, mungkin tidak akan ada siswa yang mencontek ketika ujian, sehingga pemerintah tak perlu repot-repot membuat 20 jenis soal seperti itu. Para siswa tidak akan mencontek karena mental dan sikap jujur, rajin belajar mewujud dalam diri mereka. Begitu juga tak akan ada lagi yang tawuran, narkoba dan sex bebas, karena mereka tahu, itu perbuatan yang keji, dibenci Allah, merugikan diri sendiri dan orang lain. Namun tak ada kata terlambat, para pegiat pendidikan saat ini harus berupaya mewujudkan agar karakter dan moral pelajar harus ditingkatkan dan menjadi penentu kelulusan siswa ke depan.
Namun, lagi-lagi pertanyaan yang muncul adalah, nilai-nilai karakter yang diinginkan itu seperti apa? Apakah standar barat yang jelas-jelas beraqidah sekularisme? Ataukah standar Islam yang terangkum dalam aqidah akhlak yang berasal dari syari`ah Islam? pilihan kedua ini masih menjadi perdebatan, padahal apa madhorotnya sih kalau menjadikan Indonesia bersyari`ah? Padahal dengan itu generasi bangsa ini bisa jauh lebih baik. Kita lihat saja nanti.

[Ika Mustaqiroh]

*Artikel ini dibuat sebagai tugas mandiri Mata Kuliah Administrasi Pendidikan
Dosen Pengampu: Dr. Farihin Nur, M.Pd

No comments:

Post a Comment