Monday 15 April 2013

1000 SKS Mata Kuliah Jerawat

Oleh: Ika Mustaqiroh
  
Sudah setengah jam aku terpaku menatap warna-warni bunga di centre park kampusku. Aneka bunga segar, semerbak wangi dengan mahkota bermekaran indah nan cerah. Semua orang suka cita melihat dan memandanginya. Rasanya, aku dan bunga tak ada beda. Ada satu kesamaan antara aku dengan makhluk hidup yang beruntung itu. Mereka bunga, aku juga bunga. Namaku bunga. Bedanya, prestige mereka  di mata manusia sangat tinggi, sedang aku tidak.
Orang bilang nama itu adalah do`a. Tapi entah kenapa, nama ini jadi beban hidupku.  Begitu jrot lahir, orang tuaku langsung memberiku nama “Bunga Indah Lestari”. Bisa dibayangkan kan indahnya nama itu untuk seorang gadis sepertiku? Tapi apa yang kalian bayangkan ketika mendengar nama itu? Terbayangkah wajahnya nan cantik seperti mawar merah? Ataukah bersinar bak  bulan purnama? Ataukah putih bersih bagai bunga melati?
Ah, rupanya tak seperti itu kawan. Nyatanya nama dan rupaku bersebrangan jauh. Do`a orang tuaku belum terwujud. Aku masih jadi gadis dengan wajah penuh dilema. Seribu satu galau menghiasi mukaku. Galau itu bernama jerawat. Yeah, JE–RA–WAT .
Ku hela nafas panjang…. Kulihat tangkai-tangkai bunga menari-nari bersama semilir angin.  Mereka membawaku pada kisahku dulu…. Rasa pilu menyeriap kalbuku.

***

Kala itu, langit sore terlihat mendung, persis melukiskan apa yang tersembunyi di benakku. Terasa gelap, berat. Batinku mendung menduka saat melihat temanku membuang alas bedaknya di hadapanku. Dan saat menoleh ke arahku, ia cemberut.
“Ra, kamu tahu gak, kenapa sih kok Diana membuang alas bedaknya?”, tanyaku pada Rara, teman sekelasku di SMP kelas 3.
Rara hanya terdiam. Ia tak menjawab pertanyaanku langsung. “Kenapa Ra?”, tanyaku penasaran.
Rara menengok ke kiri dan ke kanan. Seolah merasa ada pemata-mata sedang mengintai.
“Ungaaaa…”, bisiknya memulai ragu.
“Ceritain, Ra…”, aku memohon.
“Kamu tahu tak, ketika habis renang tadi, kamu minta bedaknya Diana?”
“Iya.”
“Sewaktu kamu pinjem, dia sebenarnya gak suka….”
“Kenapa? Dia juga suka minta parfum dan hand body aku. Kok pelit sih dia?”
“Bukan pelit ungaaa…. Tapi karena ada alasan lain”
“Apa?”
“Pas kamu keluar dari tempat ganti, dia bilang, “Ih, gue gak mau alas bedak gue dipake Bunga. Wajah dia kan jerawatan. Gue takut bakterinya nempel di alas bedak gue. Terus gue ketularan jerawatan dweh….””, ucap Rara menirukan gaya bicara Diana.
Jleb.
Batinku meringis, aku istighfar. Astagfirullah…. Suaraku berat, “Setau aku, bakteri jerawat itu ada di dalam kulit. Bukan di permukaan kulit. Kecuali kalo jerawatku meletos dan kesapu alas bedaknya. Jerawatku kan gak gitu... jerawatku, jerawat batu.” Aku menghela nafas, “Lagipula, barusan kan aku mandi, abis renang, otomatis wajah aku lagi bersih…. Diana kejam banget sih…,” kataku sambil berkaca-kaca.
Rara memelukku. Isyarat agar aku tabah atas sikap arogansi Diana barusan. Tak seharusnya Diana bicara demikian. Diana lupa bahwa kecantikan bukanlah perkara yang kekal. Aku peluk erat sahabatku itu.

***

Masa-masa remajaku diisi dengan ragam kisah. Ada sedih, duka, merana. Ada juga bahagia, suka cita. Ada satu teman yang mengisi kisah masa-masaku itu. Ia yang mengerti tentangku. Dia-lah yang lalu membelaku ketika Diana arogan dengan wajah mulusnya. Bahkan Rara menyumpahi Diana agar di umurnya yang ke-17 tahun, dia terkena jerawat dan eksim. Fuihhh... Aku tahu tidak tidak serius, dia hanya membelaku. Dia Rara, Rara Pramistiara, sahabat kentalku.
Berawal dari kegemaran menonton film dan terobsesi dengan tokoh-tokoh dewi, bidadari, putri, atau ratu yang mengenakan gaun “wah”, berambut panjang… dan tokoh yang kehadirannya ditunggu dan diutamakan. Aku senang sekali dengan tokoh semacam itu… bukan hanya untuk menjerat perhatian pangeran berkuda putih, tapi aku ingin setiap kedatanganku selalu mempesona dan anggun membuat orang-orang terkesima.
Menjadi putri cantik adalah kesempurnaan penciptaan seorang wanita. Ciri wanita itu, yaaa cantik fisiknya. Jika wanita tidak cantik, dia bukan wanita… bukankah wanita tercipta untuk keindahan? Begitu logika konyolku.
“Tapi, kalau menurutku sih, Barbie lebih cantik, anggun dan smooth banggeeet”,
“Nggak ah, mereka kan boneka, kartun pula… gak nyata”
“Kan tokoh-tokoh Barbie diperankan orang-orang Amerika”.
“Kamu suka style Amerika?”
“Iya”
“Kafir itu…”
“Bodo”
Inilah sisi yang berbeda antara Rara dan aku. Rara lebih terobsesi dengan tokoh putri berwujud Barbie. Sedang aku tidak. Aku tidak suka dengan wanita cantik yang memamerkan tubuhnya, seperti tokoh-tokoh Barbie itu. Karena terkesan ekspolitatif yang mengurangi keindahannya. Jika aku memerankan tokoh aku akan memakai gaun bidadari yang sopan tapi mewah… seperti tokoh “Dewi Kwan In” dalam film Kera Sakti atau tokoh “Bundadari” dalam sinetron PutriBidadari.
Selain itu, kami juga suka sekali melakukan treatment wajah. Kami sering maskeran bersama jika aku bertandang ke rumah Rara untuk mengerjakan tugas. Rumah Rara dekat dengan sekolah. Tinggal menyebrang saja. Ibu Rara selalu menyarankan kami agar menggunakan “Sari Pohatji” untuk menyembuhkan jerawatku dan sebagai pencegah jerawat untuk Rara. Jerawat Rara, tak separah jerawatku. Jika jerawatku lima, jerawat Rara paling dua. Masker ini sering Ibu Rara beli tiap kali mbok jamu lewat ke rumahnya. Senang sekali punya sahabat dan orang tua yang mengerti masalah anak muda, hehehe….
                                                          
***                                                                                     

Rara dan aku berpisah. Kini kami jadi siswa SMA. Perbedaan sekolah membuat kami jarang bertemu. Jarak sekolahku sekarang harus ku tempuh cukup jauh. Aku harus naik metro mini satu kali selama 1 jam. Sedang Rara, dia sekolah lebih jauh lagi…. Dia ikut ke kota kakaknya di Jakarta.
Ada banyak yang berubah dari diriku semenjak masuk SMA. Aku makin tinggi, berat badanku bertambah, uang sakuku, jam belajarku, pengetahuanku, dan temanku. Yang tidak berubah adalah……… JERAWAT DI MUKAKU!!!!!
Dalam perjalanan pulang, kebetulan aku duduk bersebelahan dengan seorang bapak-bapak yang kisaran umurnya seusia ayahku. Sejak aku naik dan duduk di sebelahnya, dia menampakan wajah yang ramah. Aku pun membalasnya.
Dia lalu bertanya, “Mau kemana Neng?”
“Pulang ke Cigasong Pak”. “Bapak mau ke mana?”, tanyaku lalu.
“Mau ke Cikijing. Saya dari Bandung,” katanya langsung.
“Wah… ada bisnis ke Cikijing?”
“Ketemu pasien”
“Oh… bapak dokter, mantri atau …. ?”
“Saya herbalis,” ucapnya mantap. “Setelah saya Pensiun, saya tertarik dengan bidan kesehatan,” lanjutnya.
Dalam hati, Eh, si Bapak ini curhat?.
“Oh… emang Bapak tadinya berprofesi apa?” tanyaku lalu.
“Saya dosen UNPAD. Tapi itu dulu… tahun 1990-an. Setelah itu saya ngajar ekonomi di SMP Bandung. Setelah pensiun, saya memilih jadi herbalis”
Wahhh…. Beneran curhat. Tapi ngomong-ngomong, produktif juga ya nih si Bapak. Pasiennya aja orang Cikijing. Berapa kilometer tuh jarak Bandung – Cikijing?
Beberapa saat kami terdiam. Aku melihat si Bapak memandang wajahku. Aku merasa grogi dan takut…
“Neng… maaf ya neng….,” kata si Bapak.
“Iya?”
“Itu jerawat merah banget”.
Alamak!!! dikomentari itu, jerawatku kayak mateng. “”Mmm….iya nih Pak. Gak tau nih. udah dicobain apa aja tapi gak mempan”. Aku jawab dengan pelan. Karena aku malu bila terdengar oleh seluruh penumpang.
 “Diobatinnya pake apa?”
Aku sebutin merek-merek acne series yang pernah aku coba.
Dahi si bapak mengernyut, “Waahh… coba deh neng, pakainya yang alami aja.” Sarannya.
“Apa tuh Pak?”
“Coba tiap malam dikompres sama air hangat. Setelah itu dikompres lagi sama air es. Air hangat fungsinya untuk membuka pori-pori dan mengangkat komedo. Sedangkan air dingin gunanya untuk menutup pori-pori tersebut. Nah setelah itu, pakai masker. Pernah denger gak masker “Sari Pohatji”? Itu masker traditional”.
Sari pohatji ? mendengar masker itu, aku jadi inget Ibu Rara. Dulu zaman waktu SMP, kalau main ke rumahnya, aku suka maskeran bareng anaknya, Rara.
“Tapi, susah Pak dapat masker herbal itu sekarang”, keluhku.
“Iya, emang harus nyari ke tukang jamu”.
Bapak itu lalu nge-explain tentang pengetahuannya mengenai pengobatan. Volume suaranya itu loh, seperti sedang bicara di aula ngisi seminar kesehatan. Aku yakin, setiap orang pasti mendengarkan penjelasan sang mantan dosen dan guru tersebut.
“Bahkan neng, biasanya… kalau yang penyakit neng itu dikarenakan ada masalah dari hati. Pasti tahu kan hadits Rosululloh tentang hati:
 الْقَلْبُ وَهِيَ أَلَا كُلُّهُ،  الْجَسَدُ فَسَدَ فَسَدَتْ وَإِذَا كُلُّهُ، الْجَسَدُ صَلَحَ صَلَحَتْ إِذَا ،الْجَسَدِ مُضْغَةً فِي وَإِنَّ لاَ اَ
“Ketahuilah, dalam jasad ada segumpal daging. Apabila ia baik, akan menjadi baik pula seluruh jasadnya. Apabila daging itu rusak, akan menjadi rusak juga seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa daging itu adalah kalbu.” Beliau paparkan bunyi hadits tersebut dengan lancar.
“Nah, karena posisi hati ini sangat menguasai jasad manusia, maka penyakit hati ini harus disembuhkan juga.” Lanjutnya lalu.
Hmmm… bener juga ya paparan si Bapak. Tapi sebenarnya, aku agak risih dengan Bapak ini. Apa sih yang dia mau. Volumenya itu loh, yang bikin aku gak betah. Aku mulai bersikap cuek dengannya.
“Kalau di herbalis, kita bisa melihat neng, kepribadian seseorang itu dengan penyakit yang dideritanya. Seorang yang terkena jantung, karena blablablablabla……………… yang stroke, karena blablablablablaaaa…….”
Walaupun aku merasa kurang nyaman, tapi aku penasaran juga, “Kira-kira karakter saya bagaimana?”
Beliau lalu menatapku. “Kalau neng karakternya itu ambisius, sensitive, agak pendendam dan merasa diri paling benar”
Plak! Aku merasa ditampar oleh hipotesanya. Masa sih? Kayaknya aku gak gitu… batinku menolak.
“Ambisius. Sepertinya Neng punya cita-cita yang tinggi sekali.”
Sontak aku jawab. “Kita hidup harus memiliki cita-cita. Dan harus berusaha mewujudkannya”, jawabku agak ketus. Aku mau jadi aktris dan acting jadi putri kerajaan atau jadi dewi kayangan. Dan untuk mencapai itu, aku harus cantik, bebas dari masalah jerawat.
“Terus sensitive dan pendendam….”, kata beliau melanjutkan.
Haaa… Apa sih? Kalau sensitive memang iya. Tapi kalau dikatakan sebagai pendendam, aku tak terima. Selama ini aku selalu berusaha memaafkan orang lain  yang menyakitiku. Bapak ini terlalu mengada-ada.
“Yang ketiga, merasa diri paling benar dan tidak mau menerima saran dari orang lain,” katanya lagi. “ Misalnya, ada yang nyaranin pake obat ini-itu untuk kesembuhan penyakit Neng, malah gak dilakukan. Bapak kasihan kepada eneng tapi enengnya gak mau dikasihani”. Ucapnya.
Aku terkejut dengan kata-kata terakhirnya ini: Bapak kasihan kepada Neng tapi Nengnya gak mau dikasihani. Astagfirullah…aku tidak seperti yang Bapak prasangkakan kok. Saran Bapak aku dengerin, aku mau praktekin. Tapi kalau aku diceramahin di angkutan umum seperti ini, sepanjang perjalanan, siapa yang mau? Siapa yang tak tersinggung? Siapa yang tak sakit hati? Hatiku meledak.
“Wah pak, saya sudah nyampe. Saya harus turun di sini. Makasih atas masukannya. InsyaAllah saya laksanakan. Kiri Mang!”, kataku. Aku pun turun tanpa banyak basa-basi.
Aku turun ngasal, bukan turun di depan gang rumahku. Masih lima KM lagi harus aku tempuh. Biar sajalah. Aku tidak tahan mendengar perkataan Bapak tadi. Blak-blakan, suaranya kayak TOA, dan asal mengungkap kepribadian orang.
Aku pulang dengan banjir keringat karena harus berjalan kaki. Di rumah aku nangis mengadukan kejadian tadi pada ibu. Aku peluk ibu…
“Mungkin intinya dia mau jualan obat kali”, kira ibu berusaha menenangkanku.
“Tapi dia gak nawarin obat atau produknya. Dia cuma nyuruh ngompes muka trus pake masker sari pohatji. Tapi dia gak jual. Aku disuruh beli sendiri ke toko jamu”, ucapku sambil terisak.
“Kalau bukan, mungkin dia cuma mau menunjukan kehebatan dan eksistensi dia sebagai seorang herbalis, barangkali aza ada yang tertarik sama dia”.
“Aku yakin mana ada yang tertarik, kalau aku diobatin sama dia, penyakit aku bukannya sembuh yang ada makin parah, bahkan aku bisa mati karena sakit hati”, ucapku kesal.
“Husss… Udah… kamu tuh ya. gak usah diambil hati. Si  Bapak tadi kayaknya baru jadi herbalis. Dia belum banyak pengalaman. Cuma kayaknya lagi semangatnya sedang berkobar menjalani profesinya sebagai seorang herbalis. Sudah… Sudah… lagian seumuran kamu jerawatan itu wajar. Kalau sudah waktunya sembuh mah pasti sembuh”, kata ibu menenangkan batinku.
Ya… terkadang kita berpikir kita mampu memberi solusi pada orang lain, padahal justru malah menambah masalah baru. Mungkin ada baiknya jika ingin menasihati orang lain, janganlah di tempat umum. Dan pilihlah kata-kata yang halus dan bisa diterima oleh orang yang dinasehati.

***

Memilki kulit halus, putih dan bersih adalah hal yang sangat aku idamkan. Apakah itu berlebihan? Tentu saja tidak kan? Hal itu wajar diidamkan oleh para wanita normal sepertiku. Nah sekarang, obsesiku menjadi cantik bukan lagi karena aku ingin menjadi tokoh putri atau bidadari dalam film. Dimana cita-citaku dulu ingin menjadi aktris. Sekarang aku ingin menjadi bidadari dalam kehidupan nyata. Setidaknya, aku tidak mau merusak mata orang-orang di sekitarku ketika mereka melihatku. Aku ingin dilihat sejuk dan nyaman di pandang mata. Bahkan oleh laki-laki yang aku sukai.
Eh, tapi tidak. Aku tak percaya diri untuk mencintai lelaki. Kekuranganku ini membuatku tak pantas dicintai dan mencintai. Walaupun ada juga sih yang mencintaiku, dia pernah mengirimiku puisi cinta. Tapi sungguh, sekali lagi…… aku tidak percaya diri!! Titik!!. Bagaimana jika matanya jadi rusak sebab jerawatku yang hanya ia lihat? Selain itu, ya… aku tidak tertarik pacaran. Gini-gini juga aku anggota Rohis. Teman-temanku dan musyrifahku selalu mengingatkan bahwa pacaran adalah pintu dari perzinahan. Memang, pacaran tak selalu berujung zina, tapi zina selalu diawali dengan aktifitas pacaran! Gitu kata Ustadz Felix Siauw.
Oh ya, bicara perubahan cita-citaku yang tidak ingin jadi pemain film lagi, Karena aku sepertinya tidak bisa. Karena rata-rata yang menjadi artis itu harus terlebih dulu menjadi model. Di kelasku, ada temanku yang jadi artis dan pernah muncul di layar kaca. Dia model. Dia cantik, putih, tinggi, sexy. Tapi yang namanya model banyaknya tak berkerudung dan tak berjilbab, ia tak sungkan untuk memakai pakaian yang memperlihatkan auratnya. Bahkan sudah beberapa kali ya aku melihatnya mengenakan tang top dan hot pants yang seksi banget itu?
Ya ampun….. aku tak mungkin mengikuti jejaknya. Aku muslimah berkerudung, berjilbab dan aku berjerawat, sudahlah aku putar arah cita-citaku. Aku ingin jadi penulis film saja. Eh, sutradara saja denk. Eh bukan, penulis novel saja. Yap, PENULIS NOVEL!! Aha!…
Perubahan cita-citaku ini ternyata harus aku syukuri. Karena teman sekelasku yang jadi model dan pemain film tersebut dikeluarkan dari sekolah karena ketahuan hamil di luar nikah. Dunia entertainment memang sangat menggiurkan sekaligus mengkhawatirkan. Terlebih dia sebagai artis baru, baru merintis karir.
Sebagai teman, aku jadi iba padanya. Aku membayangkan, jika aku tergoda mengikuti jejak karir temanku itu, kemudian aku terjerumus pergaulan bebas, dan ternyata hamil, lalu dikeluarkan dari sekolah, karena aku tidak sekolah, aku tidak dapat ijazah SMA, lalu bagaimana aku bisa masuk universitas tanpa ijazah? untuk menjadi penulis atau scrip writer, atau bahkan sutradara film?
Memang, untuk bisa menulis tidak perlu harus kuliah, ia bisa dipelajari otodidak. Tapi kenapa tidak, kita perlu ilmu pengetahuan untuk menajamkan dan mengembangkan tulisan scenario atau novel-novel kita bukan?. Aku percaya pada nilai sebuah tulisan, ia indah bukan hanya karena gaya bahasanya, tapi karena kekuatan ide yang disampaikannya.
Bukankah juga, banyak penulis legendaris Indonesia yang lulusan universitas? Taufik Ismail, Rendra, Ramdhan KH.,? Mereka adalah para pemburu ilmu. Bagi mereka, ilmu itu bukanlah untuk kehidupan, tapi kehidupan adalah ilmu itu sendiri. Karena para penulis adalah pengamat kehidupan dan para pencari kebenaran. Untuk itulah juga Allah menurunkan ayat-Nya pada Rasulullah dengan surat Al-`Alaq, dengan bunyi ayat pertama : Iqra! Bacalah!
Aku jadi teringat dengan Firman Allah ini:
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu. Dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat baik bagimu. Allah Mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”…..

***                                    

Terkadang kita selalu memprioritaskan apa yang menjadi tujuan penting kita. Menjadi cantik adalah cita-citaku… maka kuanggarkan keseluruhan uang jajanku untuk membeli produk perawatan acne series… mulai dari harga miring produk cina sampai pada produk luar yang harganya selangit untuk remaja seusiaku.
Jika mereka asik membeli tas gaul, sandal, sepatu, baju yang lain, aku cuek bebek saja. Selama ini aku hanya memiliki satu sepatu yang tidak pernah aku ganti. Untungnya bahannya itu dari plastik, maka aku cuci pake cuci pake saja. Kalau tas, aku selalu mahugi alias minta dari kakakku, meminta tas-tas bekasnya.
Jadilah aku remaja yang terlampau sederhana dalam mode. Pikirku, yang penting aku bersih, rapi dan wangi. Tidak mesti trendy. Karena jujur, soal mode gak aka nada habisnya. Aku capek jika harus ngikutin mode. Dulu musimnya begitu, aku ikut beli, eh sekarang ganti lagi… pusiiiiinngg….. Mendingan aku tabung uang jajanku untuk membeli pelembab, pembersih muka, dan masker jerawat. Mungkin aku royal dalam membeli semua itu. Kadang aku berpikir apakah aku ini korban iklan dan korban industri kecantikan? Apakah aku korban yang menelan mentah propaganda bahwa “kulit putih itu cantik”? atau propaganda  “jerawat bikin tidak pede”. Ahh… apakah benar aku ini korban iklan?

***

Tak terasa sebentar lagi aku masuk universitas. Kesibukan sekarang, aku sering bulak-balik Majalengka - Cirebon. Makanya aku sering berhenti di terminal. Untuk menunggu elf penuh, aku bisa duduk-duduk di dekat penjual gado-gado. Tapi sekarang bangku-bangkunya penuh.
Aku tersenyum pada ibu penjual gado-gado tersebut.
“Duduk di sini aja neng”, kata si Ibu mempersilahkan aku duduk di bangkunya.
Akupun duduk di sana. Mungkin melihat aku lama berdiri, jadi beliau tidak tega membiarkanku seperti itu. Kemudian beliau melihat pada wajahku yang entah apa yang sedang dipikirkannya. Pasti tentang jerawat.
“Neng, punten… kenapa wajahnya?”, tanya si ibu.
Aku menghela nafas, aku sudah terbiasa mendengar pertanyaan itu. Aku selalu berhusnudzon, orang yang bertanya itu adalah mereka yang iba dan kasihan padaku.
“Iya nih bu… ga tau nih bingung harus pakai apa”, jawabku.
“Udah diobatin pakai apa aja, Neng?”
Aku ceritakan usaha dan upayaku dalam membunuh jerawat-jerawatku. Dengan obat apa, masker apa, gel apa, pembersih apa, sampai malas sendiri menyebutkannya.
Si ibu terlihat iba padaku dan menjadi bingung sama sepertiku.
“Anak ibu yang perempuan juga sama Neng jerawatan tadinya. Tapi sekarang dia sembuh pakai alkohol 70%”, katanya.
“Alkohol? Perih dong Bu…”
“Perihnya sebentar. Itu untuk ngeringin jerawat”.
“Oh gitu ya Bu”.
Kami pun mengobrol sangat dekat, seperti obrolan ibu dan anak.
“Makanannya dijaga Neng, jangan makan gorengan”
Aku mangut.
“Jangan makan yang pedes-pedes”
Mangut.
“Jangan makan kacang-kacangan…”, katanya lagi.
Aku mengerjap dan bertanya, “Termasuk gado-gado? Kan bumbunya  pakai kacang?”
“Iya…”
“Wah… tadinya saya mau jajan gado-gado biar dapat receh buat ongkos…”
Si Ibu menatap selembar uang yang aku sodorkan.
“Boleh gak bu, saya mau nuker uang buat ongkos?”, suaraku terdengar mengemis.
Beliau lalu membuka dompetnya dan menukarnya dengan receh.
 “Wah… Makasih banyak ya, Bu….” kataku penuh binar.
“Sama-sama. Nanti coba diobatin pake alkohol ya Neng…”
“Iya Bu, insyaAllah…”                         
Aku sangat terharu. Biasanya jika mau menukar uang pada pedagang, kita tak akan diberi. Kita harus membeli dulu dagangannya agar mendapat receh dari kembalian. Dari ibu ini aku percaya akan perhatian dan ketulusan. Tanpa meminta imbalan apa-apa. Dia memberiku perhatian dan saran. Hal ini berbeda dengan Bapak herbalis yang aku temui dalam metro mini dulu.

***

Kini aku jadi mahasiswi di sebuah institute agama Islam negeri Cirebon. Cuaca yang berbeda yang cenderung panas membuat kaget kulitku. Tiba-tiba wajahku begitu merah, bintil-bintil, dan iritasi. Jika sebelumnya jerawatku hanya sekitar hidung, dahi dan pipi saja. Kini semua menyebar di seluruh area wajahku. Hanya kelopak mata saja yang tak terkena.
Musim OSPEK-ku terjadi pada bulan Agustus. Di Indonesia, bulan Agustus sedang musim kemarau. Terlebih ini di Cirebon. Panasnya minta ampun…. Mungkin saat itu suhu udara mencapai 40 derajat celcius. WOW!
Di dunia kampus sangat berbeda dengan SMA. Terutamanya, di lingkungan kampus adalah lingkungan orang-orang yang bebas dalam berpakaian. Mereka dipersilahkan bebas mengkreasikan pakaian mereka. Asal sesuai dengan ketentuan kampus. Bila di sekolah mungkin kerudung dan pakaiannya biasa-biasa saja. Tapi jika di kampus, semua berbeda 360 derajat. Mana yang udik, mana yang modis semua bisa tertera. Selain itu, teman-temanku baru, akankah ada teman yang mau berteman denganku dengan tampilan udik dan keadaan wajahku yang seperti ini? Aku khawatir… Aku menangis menjerit…. Aku adukan masalah jerawat membandelku pada Allah dan pada ibuku.
“Ibu… lihatlah anak gadismu ini? Atas dosa apakah aku mendapat cobaan seperti ini?”
“Hussss… kamu tuh ya, ngaco saja!”
“Apa lagi yang harus aku lakukan? Gunung sudah kudaki… lautan sudah kusebrangi agar sembuh jerawatku ini”, kataku mengedit lagunya Armada.
“Ya udah… nanti juga kalau waktunya harus sembuh mah bakalan sembuh ”.
Tiba-tiba ideku muncul.
“Bu… aku mau minta uang buat berobat ke specialis kulit….”. Ibuku melongo kemudian mengangguk.
Dengan berbekal uang satu juta rupiah, aku berangkat berobat. Setelah sebelumnya mendapat informasi dari temanku tentang dokter spesialis kulit terkenal se-Cirebon. Dari informasi yang didapat, beliau adalah dr. Yunus Purnomo Sakti, Sp. KK. Namanya saja sakti, sangat meyakinkan.
Hari pertama berobat, ternyata banyak sekali pasiennya. Aku mendapat nomer antrian ke 14. Setelah 2 jam-an menunggu, Akhirnya namaku dipanggil juga. Dokter Yunus membaca kartu pasienku.
“Bunga… umur 18 tahun. Pekerjaan Mahasiswi. Mahasiswa mana?”, tanyanya.
Aku sebutkan nama kampusku.
“Terakhir pake produk wajah apa saja?”
Akupun mengabsen satu persatu. Termasuk alcohol 70% dan masker “Sari Pohatji”.
Ia lalu bertanya sesuatu yang membuatku gugup. “Bunga, udah punya pacar?”, tanyanya sambil menatapku.
Aku gugup ditanya hal pribadi tersebut. Sambil cengengesan aku pun jawab, “Huehehe… gak punya dok…,”
“Kalau udah punya pacar, saya saranin cepetan NIKAH ya…!!”, serunya sambil bercanda.
Dalam hati, ni dokter nyuruh nikah, mau gak nyariin suami buat aku?, trus mau tah semua tugas kuliahku dokter yang ngerjain?sementara aku pacaran sama suami, hehe…
Dokter pun memeriksa jerawatku menggunakan kaca pembesar. Setelah selesai, beliau memberiku selembar kertas. Sebuah Caution.
“Ok Bunga… coba di baca perintah dalam kertas tersebut!”, perintahnya.
Aku baca pelan-pelan. Judulnya: Program penyembuhan Kulit Berjerawat. Aku baca kertas itu:

Pada dasarnya, separah apapun jerawat bisa disembuhkan, asal dilakukan dengan pengobatan yang tepat. Tapi memang penyembuhan jerawat ini perlu proses dan waktu yang lama dan kesabaran pasien dalam menjalani semua tahap pengobatan.
1.              Pasien harus check up tiap 2 pekan sekali
2.              Harus rajin cuci muka dengan lotion (resep dokter) 3 kali sehari
3.              Minum air putih minimal 8 gelas perhari
4.              Olahraga tiap hari (pagi) kira-kira 30 menit
5.              Istirahat cukup sekitar 6 – 8 jam sehari
6.              Sebisa mungkin menghindari stress
7.              Jika Anda memakai pil KB, gunakan KB suntik, implant atau IUD
-                 Selama pengobatan berlangsung, hindari makanan berikut: Telur, Daging kambing, Susu, Kulit ayam, Lemak; keju, coklat, ice cream, kacang-kacangan, Makanan laut (udang, kepiting, lobster dll).

Aku selesai membaca isi kertas itu. “Dok, kok sambel sama gorengan gak dilarang?” tanyaku     .
              “Tidak apa-apa. Asal jangan berlebihan saja”
Aku nyengir. Alhamdulillah…. Mana tahan kalau aku harus bercerai dengan perpedasan, maklum, Ratu Sambel.

***
Setelah berjalan selama 6 bulan pengobatan ke spesialis kulit tersebut, aku belum pernah merasakan begitu percaya diri seperti saat ini. Ketika banyak dari teman-temanku yang bertanya, “Wah… Bunga… kok sekarang bening ya?”, atau ketika berjumpa mereka bilang, “Oh Bunga, you look so WOW!!!!”, “What a beautiful you are”,  “Are you Marshanda?”. Hahaha…. senang sekali aku mendengar pujian-pujian ini, sungguh belum pernah terjadi sepanjang perjalanan hidupku. Atau ada yang bilang “Oh Bunga, You look beautiful today”. Tapi yang ini aku kurang suka. Karena kata “today”-nya itu, yang berarti cuma hari ini.
Ada seorang ikhwan yang mengirim sms padaku, menanyakan resep dan saran agar bisa menyembuhkan jerawatnya.
“Aslmkm mbak Bunga, bagi-bagi donk obat jerawatnya…hehe. Tapi Sssssttt jangan bilang-bilang ya kalau saya nanya resep ini ke mbak”.
Aku balas begini,
“70% jerawat disembuhkan dengan air wudhu”
“Oh gitu aja?”, balasnya.
“Yup”, balasku lagi.
Ahhh… sebenarnya aku bisa aja berbagi. Tapi aku tengsin harus berbagi resep jerawat dengan laki-laki. Karena aku tidak mau memperhatikan wajahnya. Karena nanti aku harus menghitung jerawatnya dan mengomentari perkembangannya. Tapi dengan balasanku seperti itu, dia seperti menyesal karena bertanya obat jerawat pada wanita. Aku tertawa. Tepatnya, tertawa di atas penderitaannya. Hahaha…. Ups.
Benar-benar Alhamdulillah… Tak sia-sia aku kerahkan semua fikiranku, waktuku, kedisiplinanku dalam mengkonsumsi makanan, serta finansialku pastinya, sehingga akhirnya aku bisa sembuh dari je-ra-wat. Berapa juta yang aku keluarkan untuk membuat kulitku cantik? Tak terhitung!
Musyrifahku (pembimbing ngaji) pernah berkata, “Bunga, kamu beruntung, kamu lahir dari keluarga yang berada, sehingga bisa mengeluarkan biaya pengobatan dan perawatan wajah sebesar itu.”
“Ini sebagai bentuk ikhtiar aku mbak…”
“Kalau kamu bisa mengeluarkan ratusan ribu untuk perawatan wajahmu, kamu juga bisa juga dong berinfak dengan nominal yang lebih dari itu?”
Dalam hati, pertanyaannya ini seperti pelecut yang menyadarkan mimpi-mimpiku. Aku jadi bertanya-tanya. Apakah aku terkatagori menghambur-hamburkan uang? Bukankah ini ikhtiar maksimal yang bisa aku lakukan? Bukankah Allah mencintai keindahan? Apakah tindakanku ini jatuh ke dalam memaksakan kehendak? Atau?

***

Uforia kebahagiaanku terbebas dari jerawat yang digantikan dengan wajah putih bersih, sehat dan kenyal ini ternyata hanya bertahan beberapa bulan. Bintik-bintik merah kembali bermunculan setelah 2 bulan aku memutuskan untuk tidak lagi berobat dan membeli krim siang-malam dari dokter yang berharga ratusan ribu tersebut.
Aku telah berkaca pada diriku ini. Selama ini hidupku hanya berfokus pada penyembuhan ini saja? Kapan aku menabung untuk beli baju, tas, sepatu, buku dan sedekah?…. Sedekah… ah… Lama sekali aku tidak lagi bersedekah. Aku malu pada Allah.
Musyrifahku mengingatkanku akan firman Allah Qs. Al-Baqarah ayat 254:
“Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah harta (di jalan Allah) sebagian dari rizqi yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari, yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi persahabatan yang akrab dan tidak ada lagi syafa`at. Dan orang-orang yang kafir itulah orang-orang yang zalim”
Qs. Al-Baqarah ayat 261:
“Perumpamaan orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menelurkan tujuh bulir; pada setiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan ganjaran bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (KaruniaNya) lagi Maha Mengetahui.”
Dengan ganjaran Allah yang sangat menggiurkan tersebut. Aku lebih memilih untuk banyak bersedekah. Aku pakai saja kosmetik yang berbahan alami dan harganya lazim untukku. Aku putuskan untuk terus menjaga makanan apa yang dilarang oleh dokter. Walaupun sebenarnya aku sudah rindu setengah mati untuk minum  susu coklat dan ice cream kesukaanku. Ya, selama 3 tahun itu aku tidak lagi mengkonsumsinya, dan tidak mengkonsumsi jenis makanan yang terdaftar dalam kertas yang diberikan dokterku dulu.

***

Tak terasa, aku sudah masuk semester 6. Ini berarti aku semakin mendekati akhir kuliah. Aktifitasku padat, pekerjaanku banyak, aktif di organisasi pun jangan ditanyakan. Hal itu membuat vitalitas badanku mulai menurun. Entahlah… aku sering sekali mengalami demam, sakit kepala, mag, dan terutama…. Aku mengalami sakit punggung yang teramat nyeri. Yang berakibat aku tak bisa bangun dari tidur.
Semakin hari, sakit punggungku makin parah. Aku tak bisa bangun. Aku tak bisa mengajar. Aku tak bisa berangkat kuliah. Aku tak bisa apa-apa. Aku hanya bisa tidur, merintih-rintih kesakitan, yang membuat hati Ibuku sedih tidak kepalang. Aku pun dilarikan ke rumah sakit. Tempat orang-orang yang penuh harap dan sedih.
Aku syok. Ketika dokter memfonis aku terkena MENINGITIS. Penyakit berat yang dapat mengancam nyawa. Kata beliau, penyakit meningitis adalah penyakit yang menginfeksi lapisan otak dan urat saraf tulang belakang. Biasanya, meningitis ini dapat terjadi karena beberapa sebab; seperti bakteri (yang paling bahaya), virus, jamur, reaksi karena obat, dan keracunan logam tertentu. Untuk kasusku, aku terdeteksi terdapat virus meningitis dan meningococcal bacteria dalam cairan otakku. Untuk itulah. Aku mengalami kecacatan tubuh. Aku mengalami lumpuh sekujur tubuh kecuali kepala dan kedua tangan. Yang awalnya dari sakit punggung, tiba-tiba menjadi lumpuh.
Maka, dengan terpaksa aku harus meninggalkan bangku kuliahku. Karena harus terbaring di rumah sakit dan bedrest selama1 tahun. Yang tidak habis pikir. Aku sakit parah ini karena dipicu rasa takutku pada JE-RA-WAT. Sehingga membatasiku dalam mengkonsumsi makanan. Kini, dokter mewajibkanku mengkonsumsi apa saja yang dulu tidak  boleh aku makan; telur, coklat, susu, keju, ice cream, daging kambing, semuanya… harus aku makan.
Ok, aku senang. Karena aku akhirnya bisa makan enak, tanpa pilih-pilih makanan lagi. Tapi yang menjadi tidak nyamanku adalah. Aku harus mengkonsumsi telur sebanyak 4 buah sehari, bahkan 6 buah. Aku yang sudah tiga tahun tidak makan telur, merasa enek, bahkan dulu aku membenci makanan ini karena diklaim sebagai sumber penyebab jerawat no. 1. 
Mungkin inilah kesalahanku karena aku tidak berpikir, bahwa tubuh itu membutuhkan asupan varian gizi. Dan jika tidak dipenuhi akan mudah terkena penyakit. Aku tak habis fikir, kenapa aku begitu bodoh tidak memperhatikan gizi tubuhku? Padahal dulu dokter kulitku juga menyuruhku untuk menghindari makanan tersebut selama pengobatan saja. Aku kini mengerti, bagaimana aku harus memperhatikan dan mencintai tubuhku sendiri, karena jika bukan aku, siapa lagi? Dan kalau sakit siapa yang menderita? aku !
Ku jalani hari-hariku dengan berat dan penuh kepayahan. Selama empat bulan aku seperti mayat hidup yang tak bisa bergerak. Yang normal dalam diriku hanyalah kepala, mulut dan kedua tangan, sedang bagian tubuh aku lainnya lumpuh. Ketidakberdayaan menyelimutiku. Aku pasrah, tak bisa apa-apa.
Baru masuk bulan kelima, aku bisa menggerakan kakiku sedikit-sedikit. Bulan kelima aku belajar duduk. Masuk bulan keenam aku belajar berdiri, cukup lama sekali aku berlatihnya. Bulan ketujuh aku belajar berjalan menggunakan besi. Bulan kedelapan belajar mengunakan tongkat, dan lepas tongkat. Bulan ke Sembilan, aku bisa berjalan sendiri. Keluargaku menggelar syukuran atas kesembuhan aku itu. Alhamdulillah…. Laahaulaa wa laa quwwata illaa billahil `aliyil `adziim…Tidak daya dan tiada kekuatan kecuali dari Allah swt…

***
                         
Setelah setahun meninggalkan kampus, aku memberi kejutan pada teman-temanku. Katanya, aku sekarang gemuk dan cantik. Gemuk karena aku selalu makan makanan bergizi. Wajahku bersih karena aku cukup istirahat, diam saja di rumah, tidak sibuk kuliah, sehingga tidak stress, dll… aku juga heran. Jadi sebenarnya, makanan itu bukan hanya alasan satu-satunya penyebab jerawat. Aku tak percaya dengan kekekalan wajah. Bersihnya wajahku, bisa jadi akan berubah. Bukankah memang itu tanda kehidupan? senantiasa berubah karena perrubahan dialah dinamisasi kehidupan.
Setelah aku kuliah lagi, aktif organisasi lagi…
“Unga, apa ini?”, tanya ibu sambil menyodorkan mukenaku. “Ibu mau nyuci mukena, kok ada darah terus. Barusan kemarin kan ibu cuci mukena ini”.
“Iya. Tapi itu kena darah Bu…”
“Bintik-bintik darah apa ini?”
“Darah jerawat aku, Bu…”, jawabku.                       
Ibu cuma mematung, dan memperhatikan wajahku. Ia terlihat iba.
“Mau ke dokter lagikah sayang?”, tanyanya.
“Gak perlu, Bu. Aku capek minum obat terus. Aku baru saja sembuh dari meningitis. Aku gak mau membebani ayah Ibu terus karena penyakit-penyakitku…”
Ibu lalu memelukku. Aku tegar. Walau air mataku menetes kecil.
Ya… tak lama setelah sakit, jerawatku kembali menggila. Aku titik-kan air mata, mana kala aku selesai shalat, mendapati mukenaku bernoda merah… ketika aku sujud, jerawat-jerawat itu yang pecah dan meningalkan darah…
Aku yakin pemicu jerawat kali ini karena aku mulai menghadapi tugas-tugas kampus lagi yang memicu stress, juga karena cuaca kota Cirebon yang panas, dan polusi. Aku tidak lagi percaya bahwa makanan adalah pemicu jerawatku. Aku selalu memilih asupan yang seimbang dan bergizi. Kalau pilih-pilih makanan lagi, aku takut… Apakah ini karena hormon? Tapi hormon itu ada dalam tubuh aku tidak tahu bagaimana mengendalikannya. Aku jadi teringat dengan anjuran dokterku tempo lalu, “Bunga cepat nikah aja yah!.” Aku tutup mukaku, ingin berteriak tapi enggan.
Hhhhh…. yang pasti, masalahku ini memang tak ada habisnya. Berapa tahun sudah aku dihantui oleh jerawat ini? Yang membuatku tak menikmati hidup. Minder di hadapan orang-orang. Malu untuk tampil. Takut mengkonsumsi telur, daging kambing, susu, coklat… aku yakin ada waktunya bisa sembuh total. Tapi aku tidak tahu itu kapan? Untuk sekarang, kalimat ini yang membuatku tegar; laa haulaa walaa kuwwata illabillhil `alaihil`adzim.

***

Drrrrtttt……drrrrrtttttttttt……drrrrrrrtttt….. drrrrrrttttt…… handphoneku bergetar hebat, memecah lamunanku akan kejadian masa lalu. Aku tengok HP-ku, ada panggilan  masuk.
“Assalamu`alaikum, dek Bunga, ada dimana?,”
“Wa`alaikum salam, aku lagi di taman kampus Mbak.”
“Sekarang mbak tunggu ke Aula untuk latihan drama”
“Mbak serius?”
“Mbak serius Bungaaa… ayo cepat! Yang lain sudah menunggu!”
Aku bangkit dari lamunanku. Aku tengok bunga-bunga di taman tersebut yang telah membawa pada alam bawah sadarku… ku petik 1 tangkai mawar untuk kubawa pulang. oh Bunga… apakah aku bisa menjadi Bunga yang indah? Bunga yang sebenar-benarnya? Seperti mawar?”

****

Yang membuatku terharu adalah ketika musyrifahku memintaku untuk menjadi pemeran utama dalam pergelaran drama acara untuk remaja. Padahal saat ini mukaku sedang jerawatan. Gede-gede.
“Mbak, apakah aku pantas untuk tampil di panggung sebesar itu?”
“Memangnya kenapa?”
Aku tunjuk pada wajahku.
“Diantara teman-teman yang lain, mbak percaya pada Bunga untuk memerankan ini”. “Ini bukan mau main sinetron yang pemerannya harus cantik dan good looking walaupun kualitas acting mereka kacangan. Sekarang! No excuse. Ok?”
Si mbak ini maksa. Tapi aku senang ada yang bisa membaca bakatku yang terpendam ini. Padahal sejak dulu, aku tidak pernah mendapatkann pemeran. Aku hanya kebagian di belakang layar saja. Jadi narrator, penulis cerita atau sutradaranya. Padahal setiap contest drama yang aku tulis dan sutradaraiku ketika di SMA dan kampus, selalu menyabet juara 1. Kenapa aku lupa akan hal itu?

***

“Tuh kan… bagus”. Komentar musyrifahku setelah drama selesai. Aku tersenyum puas.
“Alhamdulillah… bagaimana mungkin, Bunga merasa diri tidak berharga?”
“Bunga punya kemampuan yang bisa bermanfaat. Dengan jemari bunga, Bunga menulis pesan-pesan yang bisa menggugah para penonton. Dengan teater yang digawangi Bunga. Para penonton mendapat pesan yang sarat dengan kebaikan.”
“Cantik atau jeleknya wajah kita, itu tidak akan dihisab Allah. Karena kalau kehendak Allah begitu, sebesar upaya pun yang dilakukan akan tetap nihil… buat apa kita hanya fokus pada kekurangan kita. Padahal kita punya ladang amal untuk mengabdikan diri kita kepada orang banyak.”
“Yang penting cantik kita harus sesuai standar Islam. Apa itu? Rosulullah saw mengatakan “Dunia ini adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita shalihah.” Kata beliau.
Subhanallah… wanita shalihah disebut sebagai perhiasan bahkan perhiasan yang menyaingi perhiasan yang ada di dunia. Untuk menjadi perhiasan tersebut, kita harus menjadi wanita shalihah. Wanita shalihah tentunya harus selalu tampil syar`I. kira-kira seperti apa?”, tanyanya padaku.
Aku jawab, “Wanita itu harus memakai jilbab dan khimar.”
“Ya betul. Harus memakai jilbab dan khimar yang telah Allah perintahkan dalam Qs. 24:31 dan Qs. 33 : 59. Selain itu wanita shalihah harus menghindari tabarruj, baik dari wewangian, pakaian, gerakan, bunyi-bunyian dan harus bergaul dengan syar`i. Wanita Muslimah akan memiliki pesona kecantikan manakala dia memiliki kepribadian islam yaitu adanya pikiran dan sikap islami.”

Setelah dinasehati seperti itu… aku baru merasakan udara yang begitu segar dan sangat lapang. Aku merasa percaya diri dengan diri ini. Dan aku bersyukur bahwa nikmat Allah itu sangat besar. Jika harapanku menjadi cantik tidak terwujud di sini, semoga di akherat kelak.
Aku kini sangat percaya diri. Dan tak mau memikirkan apa yang dipikirkan orang lain terhadapku. Karena benarlah… keindahan fisik itu hanya sementara. Kecantikan ini tak abadi… logika konyolku dulu kini telah musnah. Aku dulu cantik tak lama kemudian jerawatan lagi, sembuh, cantik, jerawatan lagi. Jika jerawat ini adalah Mata Kuliah, berapa SKS yang harus aku lewati? Mungkin butuh 1000 SKS untuk memahami jerawat, memahami tentang usaha manusia dan kehendak Allah.

Aku juga melihat teman sekelasku yang dulu jadi model, ya cantik, putih, dan sexy tersebut, aku lihat sekarang dia dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Katanya, setelah kelahiran anaknya tersebut, dia terkena TBC yang berujung pada kematian anaknya. Sekarang katanya lagi, suaminya malas-malasan dalam menanggung nafkahnya. Walhasil, temanku tak ada waktu mengurus tubuhnya seperti dulu. Begitu juga Diana yang tempo dulu pernah menyinggungku dengan membuang alas bedak bekasku. Kini dia jerawatan pula, memang jerawatnya tak separahku. Namun wajah putih mulus yang dulu ia banggakan kini telah hilang.
Jadi sekarang… benarlah perkataan bijak ini:
“Ketampanan seorang raja (kecantikan seorang ratu, red), sering kali lebih dipuja daripada sang raja itu sendiri. Sehingga ketampanan itu berangsur redup, maka sang raja tak ubahnya sebuah batu yang terongok dalam legenda kemegahan candi bersama reruntuhan hartanya. Laksana bola lampu yang kita puja sinarnya, lantas kemudian kita campakkan ketika sinarnya meredup bahkan mati”.
“Ketampanan dan kecantikan akan digusur umur. Semakin bertambah umur, ketampanan dan kecantikan akan ditenggelamkan alam, diterkam kekelamam makam. Ia menjadi santapan bagi kerakusan kuburan. Ketampanan dan kecantikan akan ditinggalkan oleh kefanaan dan hanya menjadi kemuliaan masa silam yang membelenggu perjalanan akal sehat menuju masa depan tak berujung”.(Catatan Rindu pada Sang Rasul, hal: 8)
Sekarang aku tanamkan pada diriku, selalu FOKUSLAH DENGAN APA YANG AKU PUNYA DAN APA YANG BISA AKU BISA LAKUKAN SELAMA HIDUP INI !! Jika aku hanya fokus pada kekuranganku saja, aku hanya menunda-nunda waktu untuk berprestasi dan beramal lebih karena takut tampil ke depan. Lagipula fisik tidak akan Allah hisab, ketakwaanlah yang akan jadi bekal hidup kelak.

"Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk badan dan rupamu, tetapi Dia melihat kepada hati mu" (HR MUSLIM)

Sungguh, rupa dan paras tidak mampu membeli cinta dan kebahagian di akhirat. semua berbalik kepada taqwa, kepada agama. Bismillah….


***

No comments:

Post a Comment