Oleh:
Ika Mustaqiroh
Sudah
setengah jam aku terpaku menatap warna-warni bunga di centre park kampusku. Aneka bunga segar, semerbak wangi dengan
mahkota bermekaran indah nan cerah. Semua orang suka cita melihat dan memandanginya.
Rasanya, aku dan bunga tak ada beda. Ada satu kesamaan antara aku dengan
makhluk hidup yang beruntung itu. Mereka bunga, aku juga bunga. Namaku bunga. Bedanya,
prestige mereka di mata manusia sangat tinggi, sedang aku tidak.
Orang
bilang nama itu adalah do`a. Tapi entah kenapa, nama ini jadi beban hidupku. Begitu jrot
lahir, orang tuaku langsung memberiku nama “Bunga Indah Lestari”. Bisa dibayangkan
kan indahnya nama itu untuk seorang gadis sepertiku? Tapi apa yang kalian
bayangkan ketika mendengar nama itu? Terbayangkah wajahnya nan cantik seperti mawar
merah? Ataukah bersinar bak bulan
purnama? Ataukah putih bersih bagai bunga melati?
Ah,
rupanya tak seperti itu kawan. Nyatanya nama dan rupaku bersebrangan jauh. Do`a
orang tuaku belum terwujud. Aku masih jadi gadis dengan wajah penuh dilema.
Seribu satu galau menghiasi mukaku. Galau itu bernama jerawat. Yeah, JE–RA–WAT .
Ku
hela nafas panjang…. Kulihat tangkai-tangkai bunga menari-nari bersama semilir angin.
Mereka membawaku pada kisahku dulu…. Rasa
pilu menyeriap kalbuku.
***
Kala
itu, langit sore terlihat mendung, persis melukiskan apa yang tersembunyi di
benakku. Terasa gelap, berat. Batinku mendung menduka saat melihat temanku
membuang alas bedaknya di hadapanku. Dan saat menoleh ke arahku, ia cemberut.
“Ra,
kamu tahu gak, kenapa sih kok Diana membuang alas bedaknya?”, tanyaku pada
Rara, teman sekelasku di SMP kelas 3.
Rara
hanya terdiam. Ia tak menjawab pertanyaanku langsung. “Kenapa Ra?”, tanyaku
penasaran.
Rara
menengok ke kiri dan ke kanan. Seolah merasa ada pemata-mata sedang mengintai.
“Ungaaaa…”,
bisiknya memulai ragu.
“Ceritain,
Ra…”, aku memohon.
“Kamu
tahu tak, ketika habis renang tadi, kamu minta bedaknya Diana?”
“Iya.”
“Sewaktu
kamu pinjem, dia sebenarnya gak suka….”
“Kenapa?
Dia juga suka minta parfum dan hand body aku. Kok pelit sih dia?”
“Bukan
pelit ungaaa…. Tapi karena ada alasan lain”
“Apa?”
“Pas
kamu keluar dari tempat ganti, dia bilang, “Ih,
gue gak mau alas bedak gue dipake Bunga. Wajah dia kan jerawatan. Gue takut
bakterinya nempel di alas bedak gue. Terus gue ketularan jerawatan dweh….””,
ucap Rara menirukan gaya bicara Diana.
Jleb.
Batinku
meringis, aku istighfar. Astagfirullah…. Suaraku berat, “Setau aku, bakteri
jerawat itu ada di dalam kulit. Bukan di permukaan kulit. Kecuali kalo
jerawatku meletos dan kesapu alas bedaknya. Jerawatku kan gak gitu...
jerawatku, jerawat batu.” Aku menghela nafas, “Lagipula, barusan kan aku mandi,
abis renang, otomatis wajah aku lagi bersih…. Diana kejam banget sih…,” kataku
sambil berkaca-kaca.
Rara
memelukku. Isyarat agar aku tabah atas sikap arogansi Diana barusan. Tak
seharusnya Diana bicara demikian. Diana lupa bahwa kecantikan bukanlah perkara
yang kekal. Aku peluk erat sahabatku itu.
***
Masa-masa
remajaku diisi dengan ragam kisah. Ada sedih, duka, merana. Ada juga bahagia,
suka cita. Ada satu teman yang mengisi kisah masa-masaku itu. Ia yang mengerti
tentangku. Dia-lah yang lalu membelaku ketika Diana arogan dengan wajah mulusnya.
Bahkan Rara menyumpahi Diana agar di umurnya yang ke-17 tahun, dia terkena jerawat
dan eksim. Fuihhh... Aku tahu tidak tidak serius, dia hanya membelaku. Dia Rara,
Rara Pramistiara, sahabat kentalku.
Berawal
dari kegemaran menonton film dan terobsesi dengan tokoh-tokoh dewi, bidadari,
putri, atau ratu yang mengenakan gaun “wah”, berambut panjang… dan tokoh yang kehadirannya
ditunggu dan diutamakan. Aku senang sekali dengan tokoh semacam itu… bukan hanya
untuk menjerat perhatian pangeran berkuda putih, tapi aku ingin setiap kedatanganku
selalu mempesona dan anggun membuat orang-orang terkesima.
Menjadi
putri cantik adalah kesempurnaan penciptaan seorang wanita. Ciri wanita itu, yaaa
cantik fisiknya. Jika wanita tidak cantik, dia bukan wanita… bukankah wanita
tercipta untuk keindahan? Begitu logika konyolku.
“Tapi,
kalau menurutku sih, Barbie lebih cantik, anggun dan smooth banggeeet”,
“Nggak
ah, mereka kan boneka, kartun pula… gak nyata”
“Kan
tokoh-tokoh Barbie diperankan orang-orang Amerika”.
“Kamu
suka style Amerika?”
“Iya”
“Kafir
itu…”
“Bodo”
Inilah
sisi yang berbeda antara Rara dan aku. Rara lebih terobsesi dengan tokoh putri
berwujud Barbie. Sedang aku tidak. Aku
tidak suka dengan wanita cantik yang memamerkan tubuhnya, seperti tokoh-tokoh
Barbie itu. Karena terkesan ekspolitatif yang mengurangi keindahannya. Jika aku
memerankan tokoh aku akan memakai gaun bidadari yang sopan tapi mewah… seperti
tokoh “Dewi Kwan In” dalam film Kera Sakti atau tokoh “Bundadari” dalam sinetron
PutriBidadari.
Selain
itu, kami juga suka sekali melakukan treatment
wajah. Kami sering maskeran bersama jika aku bertandang ke rumah Rara untuk mengerjakan
tugas. Rumah Rara dekat dengan sekolah. Tinggal menyebrang saja. Ibu Rara
selalu menyarankan kami agar menggunakan “Sari Pohatji” untuk menyembuhkan
jerawatku dan sebagai pencegah jerawat untuk Rara. Jerawat Rara, tak separah
jerawatku. Jika jerawatku lima, jerawat Rara paling dua. Masker ini sering Ibu
Rara beli tiap kali mbok jamu lewat ke rumahnya. Senang sekali punya sahabat
dan orang tua yang mengerti masalah anak muda, hehehe….
***
Rara
dan aku berpisah. Kini kami jadi siswa SMA. Perbedaan sekolah membuat kami
jarang bertemu. Jarak sekolahku sekarang harus ku tempuh cukup jauh. Aku harus
naik metro mini satu kali selama 1 jam. Sedang Rara, dia sekolah lebih jauh
lagi…. Dia ikut ke kota kakaknya di Jakarta.
Ada
banyak yang berubah dari diriku semenjak masuk SMA. Aku makin tinggi, berat badanku
bertambah, uang sakuku, jam belajarku, pengetahuanku, dan temanku. Yang tidak
berubah adalah……… JERAWAT DI MUKAKU!!!!!
Dalam
perjalanan pulang, kebetulan aku duduk bersebelahan dengan seorang bapak-bapak
yang kisaran umurnya seusia ayahku. Sejak aku naik dan duduk di sebelahnya, dia
menampakan wajah yang ramah. Aku pun membalasnya.
Dia
lalu bertanya, “Mau kemana Neng?”
“Pulang
ke Cigasong Pak”. “Bapak mau ke mana?”, tanyaku lalu.
“Mau
ke Cikijing. Saya dari Bandung,” katanya langsung.
“Wah…
ada bisnis ke Cikijing?”
“Ketemu
pasien”
“Oh…
bapak dokter, mantri atau …. ?”
“Saya
herbalis,” ucapnya mantap. “Setelah saya Pensiun, saya tertarik dengan bidan
kesehatan,” lanjutnya.
Dalam
hati, Eh, si Bapak ini curhat?.
“Oh…
emang Bapak tadinya berprofesi apa?” tanyaku lalu.
“Saya
dosen UNPAD. Tapi itu dulu… tahun 1990-an. Setelah itu saya ngajar ekonomi di
SMP Bandung. Setelah pensiun, saya memilih jadi herbalis”
Wahhh…. Beneran curhat.
Tapi ngomong-ngomong, produktif juga ya nih si Bapak. Pasiennya aja orang
Cikijing. Berapa kilometer tuh jarak Bandung – Cikijing?
Beberapa
saat kami terdiam. Aku melihat si Bapak memandang wajahku. Aku merasa grogi dan
takut…
“Neng…
maaf ya neng….,” kata si Bapak.
“Iya?”
“Itu
jerawat merah banget”.
Alamak!!! dikomentari itu,
jerawatku kayak mateng. “”Mmm….iya nih Pak.
Gak tau nih. udah dicobain apa aja tapi gak mempan”. Aku jawab dengan pelan.
Karena aku malu bila terdengar oleh seluruh penumpang.
“Diobatinnya pake apa?”
Aku
sebutin merek-merek acne series yang
pernah aku coba.
Dahi
si bapak mengernyut, “Waahh… coba deh neng, pakainya yang alami aja.” Sarannya.
“Apa
tuh Pak?”
“Coba
tiap malam dikompres sama air hangat. Setelah itu dikompres lagi sama air es.
Air hangat fungsinya untuk membuka pori-pori dan mengangkat komedo. Sedangkan
air dingin gunanya untuk menutup pori-pori tersebut. Nah setelah itu, pakai
masker. Pernah denger gak masker “Sari Pohatji”? Itu masker traditional”.
Sari
pohatji ? mendengar masker itu, aku jadi inget Ibu Rara. Dulu zaman waktu SMP,
kalau main ke rumahnya, aku suka maskeran bareng anaknya, Rara.
“Tapi,
susah Pak dapat masker herbal itu sekarang”, keluhku.
“Iya,
emang harus nyari ke tukang jamu”.
Bapak
itu lalu nge-explain tentang pengetahuannya
mengenai pengobatan. Volume suaranya itu loh, seperti sedang bicara di aula
ngisi seminar kesehatan. Aku yakin, setiap orang pasti mendengarkan penjelasan
sang mantan dosen dan guru tersebut.
“Bahkan
neng, biasanya… kalau yang penyakit neng itu dikarenakan ada masalah dari hati.
Pasti tahu kan hadits Rosululloh tentang hati:
الْقَلْبُ وَهِيَ أَلَا كُلُّهُ، الْجَسَدُ فَسَدَ فَسَدَتْ وَإِذَا كُلُّهُ، الْجَسَدُ صَلَحَ صَلَحَتْ إِذَا ،الْجَسَدِ مُضْغَةً فِي وَإِنَّ لاَ اَ
“Ketahuilah, dalam jasad ada segumpal daging. Apabila ia baik, akan menjadi baik pula seluruh jasadnya. Apabila daging itu rusak, akan menjadi rusak juga seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa daging itu adalah kalbu.” Beliau paparkan bunyi hadits tersebut dengan lancar.
“Ketahuilah, dalam jasad ada segumpal daging. Apabila ia baik, akan menjadi baik pula seluruh jasadnya. Apabila daging itu rusak, akan menjadi rusak juga seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa daging itu adalah kalbu.” Beliau paparkan bunyi hadits tersebut dengan lancar.
“Nah,
karena posisi hati ini sangat menguasai jasad manusia, maka penyakit hati ini harus
disembuhkan juga.” Lanjutnya lalu.
Hmmm… bener juga ya
paparan si Bapak. Tapi sebenarnya, aku agak risih dengan Bapak ini. Apa sih
yang dia mau. Volumenya itu loh, yang bikin aku gak betah.
Aku mulai bersikap cuek dengannya.
“Kalau
di herbalis, kita bisa melihat neng, kepribadian seseorang itu dengan penyakit
yang dideritanya. Seorang yang terkena jantung, karena blablablablabla………………
yang stroke, karena blablablablablaaaa…….”
Walaupun
aku merasa kurang nyaman, tapi aku penasaran juga, “Kira-kira karakter saya
bagaimana?”
Beliau
lalu menatapku. “Kalau neng karakternya itu ambisius, sensitive, agak pendendam
dan merasa diri paling benar”
Plak!
Aku merasa ditampar oleh hipotesanya. Masa
sih? Kayaknya aku gak gitu… batinku menolak.
“Ambisius.
Sepertinya Neng punya cita-cita yang tinggi sekali.”
Sontak
aku jawab. “Kita hidup harus memiliki cita-cita. Dan harus berusaha
mewujudkannya”, jawabku agak ketus. Aku mau jadi aktris dan acting jadi putri
kerajaan atau jadi dewi kayangan. Dan untuk mencapai itu, aku harus cantik,
bebas dari masalah jerawat.
“Terus
sensitive dan pendendam….”, kata beliau melanjutkan.
Haaa…
Apa sih? Kalau sensitive memang iya. Tapi kalau dikatakan sebagai pendendam,
aku tak terima. Selama ini aku selalu berusaha memaafkan orang lain yang menyakitiku. Bapak ini terlalu mengada-ada.
“Yang
ketiga, merasa diri paling benar dan tidak mau menerima saran dari orang lain,”
katanya lagi. “ Misalnya, ada yang nyaranin pake obat ini-itu untuk kesembuhan
penyakit Neng, malah gak dilakukan. Bapak kasihan kepada eneng tapi enengnya
gak mau dikasihani”. Ucapnya.
Aku
terkejut dengan kata-kata terakhirnya ini: Bapak kasihan kepada Neng tapi Nengnya gak
mau dikasihani. Astagfirullah…aku
tidak seperti yang Bapak prasangkakan kok. Saran Bapak aku dengerin, aku mau
praktekin. Tapi kalau aku diceramahin di angkutan umum seperti ini, sepanjang
perjalanan, siapa yang mau? Siapa yang tak tersinggung? Siapa yang tak sakit
hati? Hatiku meledak.
“Wah
pak, saya sudah nyampe. Saya harus turun di sini. Makasih atas masukannya. InsyaAllah
saya laksanakan. Kiri Mang!”, kataku. Aku pun turun tanpa banyak basa-basi.
Aku
turun ngasal, bukan turun di depan gang rumahku. Masih lima KM lagi harus aku
tempuh. Biar sajalah. Aku tidak tahan mendengar perkataan Bapak tadi. Blak-blakan,
suaranya kayak TOA, dan asal mengungkap kepribadian orang.
Aku
pulang dengan banjir keringat karena harus berjalan kaki. Di rumah aku nangis
mengadukan kejadian tadi pada ibu. Aku peluk ibu…
“Mungkin
intinya dia mau jualan obat kali”, kira ibu berusaha menenangkanku.
“Tapi
dia gak nawarin obat atau produknya. Dia cuma nyuruh ngompes muka trus pake masker
sari pohatji. Tapi dia gak jual. Aku disuruh beli sendiri ke toko jamu”, ucapku
sambil terisak.
“Kalau
bukan, mungkin dia cuma mau menunjukan kehebatan dan eksistensi dia sebagai
seorang herbalis, barangkali aza ada yang tertarik sama dia”.
“Aku
yakin mana ada yang tertarik, kalau aku diobatin sama dia, penyakit aku bukannya
sembuh yang ada makin parah, bahkan aku bisa mati karena sakit hati”, ucapku
kesal.
“Husss…
Udah… kamu tuh ya. gak usah diambil hati. Si Bapak tadi kayaknya baru jadi herbalis. Dia
belum banyak pengalaman. Cuma kayaknya lagi semangatnya sedang berkobar
menjalani profesinya sebagai seorang herbalis. Sudah… Sudah… lagian seumuran
kamu jerawatan itu wajar. Kalau sudah waktunya sembuh mah pasti sembuh”, kata ibu
menenangkan batinku.
Ya…
terkadang kita berpikir kita mampu memberi solusi pada orang lain, padahal
justru malah menambah masalah baru. Mungkin ada baiknya jika ingin menasihati orang
lain, janganlah di tempat umum. Dan pilihlah kata-kata yang halus dan bisa
diterima oleh orang yang dinasehati.
***
Memilki
kulit halus, putih dan bersih adalah hal yang sangat aku idamkan. Apakah itu berlebihan?
Tentu saja tidak kan? Hal itu wajar diidamkan oleh para wanita normal sepertiku.
Nah sekarang, obsesiku menjadi cantik bukan lagi karena aku ingin menjadi tokoh
putri atau bidadari dalam film. Dimana cita-citaku dulu ingin menjadi aktris. Sekarang
aku ingin menjadi bidadari dalam kehidupan nyata. Setidaknya, aku tidak mau
merusak mata orang-orang di sekitarku ketika mereka melihatku. Aku ingin
dilihat sejuk dan nyaman di pandang mata. Bahkan oleh laki-laki yang aku sukai.
Eh,
tapi tidak. Aku tak percaya diri untuk mencintai lelaki. Kekuranganku ini
membuatku tak pantas dicintai dan mencintai. Walaupun ada juga sih yang mencintaiku,
dia pernah mengirimiku puisi cinta. Tapi sungguh, sekali lagi…… aku tidak
percaya diri!! Titik!!. Bagaimana jika matanya jadi rusak sebab jerawatku yang hanya
ia lihat? Selain itu, ya… aku tidak tertarik pacaran. Gini-gini juga aku
anggota Rohis. Teman-temanku dan musyrifahku selalu mengingatkan bahwa pacaran
adalah pintu dari perzinahan. Memang, pacaran tak selalu berujung zina, tapi
zina selalu diawali dengan aktifitas pacaran! Gitu kata Ustadz Felix Siauw.
Oh
ya, bicara perubahan cita-citaku yang tidak ingin jadi pemain film lagi, Karena
aku sepertinya tidak bisa. Karena rata-rata yang menjadi artis itu harus terlebih
dulu menjadi model. Di kelasku, ada temanku yang jadi artis dan pernah muncul
di layar kaca. Dia model. Dia cantik, putih, tinggi, sexy. Tapi yang namanya
model banyaknya tak berkerudung dan tak berjilbab, ia tak sungkan untuk memakai
pakaian yang memperlihatkan auratnya. Bahkan sudah beberapa kali ya aku melihatnya
mengenakan tang top dan hot pants yang seksi banget itu?
Ya
ampun….. aku tak mungkin mengikuti jejaknya. Aku muslimah berkerudung, berjilbab
dan aku berjerawat, sudahlah aku putar arah cita-citaku. Aku ingin jadi penulis
film saja. Eh, sutradara saja denk. Eh bukan, penulis novel saja. Yap, PENULIS
NOVEL!! Aha!…
Perubahan
cita-citaku ini ternyata harus aku syukuri. Karena teman sekelasku yang jadi
model dan pemain film tersebut dikeluarkan dari sekolah karena ketahuan hamil
di luar nikah. Dunia entertainment memang sangat menggiurkan sekaligus mengkhawatirkan.
Terlebih dia sebagai artis baru, baru merintis karir.
Sebagai
teman, aku jadi iba padanya. Aku membayangkan, jika aku tergoda mengikuti jejak
karir temanku itu, kemudian aku terjerumus pergaulan bebas, dan ternyata hamil,
lalu dikeluarkan dari sekolah, karena aku tidak sekolah, aku tidak dapat ijazah
SMA, lalu bagaimana aku bisa masuk universitas tanpa ijazah? untuk menjadi
penulis atau scrip writer, atau bahkan sutradara film?
Memang,
untuk bisa menulis tidak perlu harus kuliah, ia bisa dipelajari otodidak. Tapi
kenapa tidak, kita perlu ilmu pengetahuan untuk menajamkan dan mengembangkan
tulisan scenario atau novel-novel kita bukan?. Aku percaya pada nilai sebuah tulisan,
ia indah bukan hanya karena gaya bahasanya, tapi karena kekuatan ide yang
disampaikannya.
Bukankah
juga, banyak penulis legendaris Indonesia yang lulusan universitas? Taufik
Ismail, Rendra, Ramdhan KH.,? Mereka adalah para pemburu ilmu. Bagi mereka,
ilmu itu bukanlah untuk kehidupan, tapi kehidupan adalah ilmu itu sendiri.
Karena para penulis adalah pengamat kehidupan dan para pencari kebenaran. Untuk
itulah juga Allah menurunkan ayat-Nya pada Rasulullah dengan surat Al-`Alaq,
dengan bunyi ayat pertama : Iqra! Bacalah!
Aku
jadi teringat dengan Firman Allah ini:
“Boleh jadi kamu
membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu. Dan boleh jadi (pula) kamu
menyukai sesuatu, padahal ia amat baik bagimu. Allah Mengetahui, sedang kamu
tidak mengetahui”…..
***
Terkadang
kita selalu memprioritaskan apa yang menjadi tujuan penting kita. Menjadi
cantik adalah cita-citaku… maka kuanggarkan keseluruhan uang jajanku untuk
membeli produk perawatan acne series…
mulai dari harga miring produk cina sampai pada produk luar yang harganya
selangit untuk remaja seusiaku.
Jika
mereka asik membeli tas gaul, sandal, sepatu, baju yang lain, aku cuek bebek
saja. Selama ini aku hanya memiliki satu sepatu yang tidak pernah aku ganti.
Untungnya bahannya itu dari plastik, maka aku cuci pake cuci pake saja. Kalau
tas, aku selalu mahugi alias minta dari
kakakku, meminta tas-tas bekasnya.
Jadilah
aku remaja yang terlampau sederhana dalam mode. Pikirku, yang penting aku
bersih, rapi dan wangi. Tidak mesti trendy.
Karena jujur, soal mode gak aka nada habisnya. Aku capek jika harus ngikutin
mode. Dulu musimnya begitu, aku ikut beli, eh sekarang ganti lagi…
pusiiiiinngg….. Mendingan aku tabung uang jajanku untuk membeli pelembab,
pembersih muka, dan masker jerawat. Mungkin aku royal dalam membeli semua itu. Kadang
aku berpikir apakah aku ini korban iklan dan korban industri kecantikan? Apakah
aku korban yang menelan mentah propaganda bahwa “kulit putih itu cantik”? atau
propaganda “jerawat bikin tidak pede”.
Ahh… apakah benar aku ini korban iklan?
***
Tak
terasa sebentar lagi aku masuk universitas. Kesibukan sekarang, aku sering bulak-balik
Majalengka - Cirebon. Makanya aku sering berhenti di terminal. Untuk menunggu
elf penuh, aku bisa duduk-duduk di dekat penjual gado-gado. Tapi sekarang
bangku-bangkunya penuh.
Aku
tersenyum pada ibu penjual gado-gado tersebut.
“Duduk
di sini aja neng”, kata si Ibu mempersilahkan aku duduk di bangkunya.
Akupun
duduk di sana. Mungkin melihat aku lama berdiri, jadi beliau tidak tega
membiarkanku seperti itu. Kemudian beliau melihat pada wajahku yang entah apa
yang sedang dipikirkannya. Pasti tentang jerawat.
“Neng,
punten… kenapa wajahnya?”, tanya si ibu.
Aku
menghela nafas, aku sudah terbiasa mendengar pertanyaan itu. Aku selalu
berhusnudzon, orang yang bertanya itu adalah mereka yang iba dan kasihan
padaku.
“Iya
nih bu… ga tau nih bingung harus pakai apa”, jawabku.
“Udah
diobatin pakai apa aja, Neng?”
Aku
ceritakan usaha dan upayaku dalam membunuh jerawat-jerawatku. Dengan obat apa,
masker apa, gel apa, pembersih apa, sampai malas sendiri menyebutkannya.
Si
ibu terlihat iba padaku dan menjadi bingung sama sepertiku.
“Anak
ibu yang perempuan juga sama Neng jerawatan tadinya. Tapi sekarang dia sembuh
pakai alkohol 70%”, katanya.
“Alkohol?
Perih dong Bu…”
“Perihnya
sebentar. Itu untuk ngeringin jerawat”.
“Oh
gitu ya Bu”.
Kami
pun mengobrol sangat dekat, seperti obrolan ibu dan anak.
“Makanannya
dijaga Neng, jangan makan gorengan”
Aku
mangut.
“Jangan
makan yang pedes-pedes”
Mangut.
“Jangan
makan kacang-kacangan…”, katanya lagi.
Aku
mengerjap dan bertanya, “Termasuk gado-gado? Kan bumbunya pakai kacang?”
“Iya…”
“Wah…
tadinya saya mau jajan gado-gado biar dapat receh buat ongkos…”
Si
Ibu menatap selembar uang yang aku sodorkan.
“Boleh
gak bu, saya mau nuker uang buat ongkos?”, suaraku terdengar mengemis.
Beliau
lalu membuka dompetnya dan menukarnya dengan receh.
“Wah… Makasih banyak ya, Bu….” kataku penuh
binar.
“Sama-sama.
Nanti coba diobatin pake alkohol ya Neng…”
“Iya
Bu, insyaAllah…”
Aku
sangat terharu. Biasanya jika mau menukar uang pada pedagang, kita tak akan
diberi. Kita harus membeli dulu dagangannya agar mendapat receh dari kembalian.
Dari ibu ini aku percaya akan perhatian dan ketulusan. Tanpa meminta imbalan apa-apa.
Dia memberiku perhatian dan saran. Hal ini berbeda dengan Bapak herbalis yang
aku temui dalam metro mini dulu.
***
Kini
aku jadi mahasiswi di sebuah institute agama Islam negeri Cirebon. Cuaca yang
berbeda yang cenderung panas membuat kaget kulitku. Tiba-tiba wajahku begitu
merah, bintil-bintil, dan iritasi. Jika sebelumnya jerawatku hanya sekitar
hidung, dahi dan pipi saja. Kini semua menyebar di seluruh area wajahku. Hanya
kelopak mata saja yang tak terkena.
Musim
OSPEK-ku terjadi pada bulan Agustus. Di Indonesia, bulan Agustus sedang musim
kemarau. Terlebih ini di Cirebon. Panasnya minta ampun…. Mungkin saat itu suhu
udara mencapai 40 derajat celcius. WOW!
Di
dunia kampus sangat berbeda dengan SMA. Terutamanya, di lingkungan kampus
adalah lingkungan orang-orang yang bebas dalam berpakaian. Mereka dipersilahkan
bebas mengkreasikan pakaian mereka. Asal sesuai dengan ketentuan kampus. Bila
di sekolah mungkin kerudung dan pakaiannya biasa-biasa saja. Tapi jika di
kampus, semua berbeda 360 derajat. Mana yang udik, mana yang modis semua bisa
tertera. Selain itu, teman-temanku baru, akankah ada teman yang mau berteman
denganku dengan tampilan udik dan keadaan wajahku yang seperti ini? Aku
khawatir… Aku menangis menjerit…. Aku adukan masalah jerawat membandelku pada
Allah dan pada ibuku.
“Ibu…
lihatlah anak gadismu ini? Atas dosa apakah aku mendapat cobaan seperti ini?”
“Hussss…
kamu tuh ya, ngaco saja!”
“Apa
lagi yang harus aku lakukan? Gunung sudah kudaki… lautan sudah kusebrangi agar
sembuh jerawatku ini”, kataku mengedit lagunya Armada.
“Ya
udah… nanti juga kalau waktunya harus sembuh mah bakalan sembuh ”.
Tiba-tiba
ideku muncul.
“Bu…
aku mau minta uang buat berobat ke specialis kulit….”. Ibuku melongo kemudian mengangguk.
Dengan
berbekal uang satu juta rupiah, aku berangkat berobat. Setelah sebelumnya mendapat
informasi dari temanku tentang dokter spesialis kulit terkenal se-Cirebon. Dari
informasi yang didapat, beliau adalah dr. Yunus Purnomo Sakti, Sp. KK. Namanya
saja sakti, sangat meyakinkan.
Hari
pertama berobat, ternyata banyak sekali pasiennya. Aku mendapat nomer antrian
ke 14. Setelah 2 jam-an menunggu, Akhirnya namaku dipanggil juga. Dokter Yunus membaca
kartu pasienku.
“Bunga…
umur 18 tahun. Pekerjaan Mahasiswi. Mahasiswa mana?”, tanyanya.
Aku
sebutkan nama kampusku.
“Terakhir
pake produk wajah apa saja?”
Akupun
mengabsen satu persatu. Termasuk alcohol 70% dan masker “Sari Pohatji”.
Ia
lalu bertanya sesuatu yang membuatku gugup. “Bunga, udah punya pacar?”,
tanyanya sambil menatapku.
Aku
gugup ditanya hal pribadi tersebut. Sambil cengengesan aku pun jawab, “Huehehe…
gak punya dok…,”
“Kalau
udah punya pacar, saya saranin cepetan NIKAH ya…!!”, serunya sambil bercanda.
Dalam
hati, ni dokter nyuruh nikah, mau gak
nyariin suami buat aku?, trus mau tah semua tugas kuliahku dokter yang ngerjain?sementara
aku pacaran sama suami, hehe…
Dokter
pun memeriksa jerawatku menggunakan kaca pembesar. Setelah selesai, beliau
memberiku selembar kertas. Sebuah Caution.
“Ok
Bunga… coba di baca perintah dalam kertas tersebut!”, perintahnya.
Aku
baca pelan-pelan. Judulnya: Program penyembuhan Kulit Berjerawat. Aku baca
kertas itu:
Pada
dasarnya, separah apapun jerawat bisa disembuhkan, asal dilakukan dengan pengobatan
yang tepat. Tapi memang penyembuhan jerawat ini perlu proses dan waktu yang
lama dan kesabaran pasien dalam menjalani semua tahap pengobatan.
1.
Pasien harus check up tiap 2 pekan sekali
2.
Harus rajin cuci muka dengan lotion (resep dokter) 3
kali sehari
3.
Minum air putih minimal 8 gelas perhari
4.
Olahraga tiap hari (pagi) kira-kira 30 menit
5.
Istirahat cukup sekitar 6 – 8 jam sehari
6.
Sebisa mungkin menghindari stress
7.
Jika Anda memakai pil KB, gunakan
KB suntik, implant atau IUD
-
Selama pengobatan berlangsung, hindari makanan
berikut: Telur, Daging kambing, Susu, Kulit ayam, Lemak; keju, coklat, ice
cream, kacang-kacangan, Makanan laut (udang, kepiting, lobster dll).
Aku
selesai membaca isi kertas itu. “Dok, kok
sambel sama gorengan gak dilarang?” tanyaku .
“Tidak apa-apa. Asal jangan
berlebihan saja”
Aku
nyengir. Alhamdulillah…. Mana tahan kalau aku harus bercerai dengan perpedasan,
maklum, Ratu Sambel.
***
Setelah
berjalan selama 6 bulan pengobatan ke spesialis kulit tersebut, aku belum
pernah merasakan begitu percaya diri seperti saat ini. Ketika banyak dari teman-temanku
yang bertanya, “Wah… Bunga… kok sekarang bening ya?”, atau ketika berjumpa mereka
bilang, “Oh Bunga, you look so WOW!!!!”,
“What a beautiful you are”, “Are
you Marshanda?”. Hahaha…. senang sekali aku mendengar pujian-pujian ini,
sungguh belum pernah terjadi sepanjang perjalanan hidupku. Atau ada yang bilang
“Oh Bunga, You look beautiful today”.
Tapi yang ini aku kurang suka. Karena kata “today”-nya itu, yang berarti cuma
hari ini.
Ada
seorang ikhwan yang mengirim sms padaku, menanyakan resep dan saran agar bisa
menyembuhkan jerawatnya.
“Aslmkm
mbak Bunga, bagi-bagi donk obat jerawatnya…hehe. Tapi Sssssttt jangan
bilang-bilang ya kalau saya nanya resep ini ke mbak”.
Aku
balas begini,
“70%
jerawat disembuhkan dengan air wudhu”
“Oh
gitu aja?”, balasnya.
“Yup”,
balasku lagi.
Ahhh…
sebenarnya aku bisa aja berbagi. Tapi aku tengsin
harus berbagi resep jerawat dengan laki-laki. Karena aku tidak mau
memperhatikan wajahnya. Karena nanti aku harus menghitung jerawatnya dan
mengomentari perkembangannya. Tapi dengan balasanku seperti itu, dia seperti
menyesal karena bertanya obat jerawat pada wanita. Aku tertawa. Tepatnya,
tertawa di atas penderitaannya. Hahaha…. Ups.
Benar-benar
Alhamdulillah… Tak sia-sia aku kerahkan semua fikiranku, waktuku,
kedisiplinanku dalam mengkonsumsi makanan, serta finansialku pastinya, sehingga
akhirnya aku bisa sembuh dari je-ra-wat. Berapa juta yang aku keluarkan untuk
membuat kulitku cantik? Tak terhitung!
Musyrifahku
(pembimbing ngaji) pernah berkata, “Bunga, kamu beruntung, kamu lahir dari
keluarga yang berada, sehingga bisa mengeluarkan biaya pengobatan dan perawatan
wajah sebesar itu.”
“Ini
sebagai bentuk ikhtiar aku mbak…”
“Kalau
kamu bisa mengeluarkan ratusan ribu untuk perawatan wajahmu, kamu juga bisa
juga dong berinfak dengan nominal yang lebih dari itu?”
Dalam
hati, pertanyaannya ini seperti pelecut yang menyadarkan mimpi-mimpiku. Aku
jadi bertanya-tanya. Apakah aku terkatagori menghambur-hamburkan uang? Bukankah
ini ikhtiar maksimal yang bisa aku lakukan? Bukankah Allah mencintai keindahan?
Apakah tindakanku ini jatuh ke dalam memaksakan kehendak? Atau?
***
Uforia
kebahagiaanku terbebas dari jerawat yang digantikan dengan wajah putih bersih,
sehat dan kenyal ini ternyata hanya bertahan beberapa bulan. Bintik-bintik
merah kembali bermunculan setelah 2 bulan aku memutuskan untuk tidak lagi berobat
dan membeli krim siang-malam dari dokter yang berharga ratusan ribu tersebut.
Aku
telah berkaca pada diriku ini. Selama ini hidupku hanya berfokus pada
penyembuhan ini saja? Kapan aku menabung untuk beli baju, tas, sepatu, buku dan
sedekah?…. Sedekah… ah… Lama sekali aku tidak lagi bersedekah. Aku malu pada
Allah.
Musyrifahku
mengingatkanku akan firman Allah Qs. Al-Baqarah ayat 254:
“Hai orang-orang yang
beriman, belanjakanlah harta (di jalan Allah) sebagian dari rizqi yang telah
Kami berikan kepadamu sebelum datang hari, yang pada hari itu tidak ada lagi
jual beli dan tidak ada lagi persahabatan yang akrab dan tidak ada lagi
syafa`at. Dan orang-orang yang kafir itulah orang-orang yang zalim”
Qs.
Al-Baqarah ayat 261:
“Perumpamaan orang yang
menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang
menelurkan tujuh bulir; pada setiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan
ganjaran bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (KaruniaNya) lagi
Maha Mengetahui.”
Dengan
ganjaran Allah yang sangat menggiurkan tersebut. Aku lebih memilih untuk banyak
bersedekah. Aku pakai saja kosmetik yang berbahan alami dan harganya lazim
untukku. Aku putuskan untuk terus menjaga makanan apa yang dilarang oleh
dokter. Walaupun sebenarnya aku sudah rindu setengah mati untuk minum susu coklat dan ice cream kesukaanku. Ya, selama 3 tahun itu aku tidak lagi mengkonsumsinya,
dan tidak mengkonsumsi jenis makanan yang terdaftar dalam kertas yang diberikan
dokterku dulu.
***
Tak
terasa, aku sudah masuk semester 6. Ini berarti aku semakin mendekati akhir
kuliah. Aktifitasku padat, pekerjaanku banyak, aktif di organisasi pun jangan
ditanyakan. Hal itu membuat vitalitas badanku mulai menurun. Entahlah… aku
sering sekali mengalami demam, sakit kepala, mag, dan terutama…. Aku mengalami
sakit punggung yang teramat nyeri. Yang berakibat aku tak bisa bangun dari
tidur.
Semakin hari, sakit punggungku makin parah.
Aku tak bisa bangun. Aku tak bisa mengajar. Aku tak bisa berangkat kuliah. Aku
tak bisa apa-apa. Aku hanya bisa tidur, merintih-rintih kesakitan, yang membuat
hati Ibuku sedih tidak kepalang. Aku pun dilarikan ke rumah sakit. Tempat orang-orang
yang penuh harap dan sedih.
Aku syok. Ketika dokter memfonis aku terkena
MENINGITIS. Penyakit berat yang dapat mengancam nyawa. Kata beliau, penyakit meningitis
adalah penyakit yang menginfeksi lapisan otak dan urat saraf tulang belakang. Biasanya,
meningitis ini dapat terjadi karena beberapa sebab; seperti bakteri (yang
paling bahaya), virus, jamur, reaksi karena obat, dan keracunan logam tertentu.
Untuk kasusku, aku terdeteksi terdapat virus meningitis dan meningococcal bacteria dalam cairan
otakku. Untuk itulah. Aku mengalami kecacatan tubuh. Aku mengalami lumpuh
sekujur tubuh kecuali kepala dan kedua tangan. Yang awalnya dari sakit
punggung, tiba-tiba menjadi lumpuh.
Maka,
dengan terpaksa aku harus meninggalkan bangku kuliahku. Karena harus terbaring
di rumah sakit dan bedrest selama1
tahun. Yang tidak habis pikir. Aku sakit parah ini karena dipicu rasa takutku
pada JE-RA-WAT. Sehingga membatasiku dalam mengkonsumsi makanan. Kini, dokter
mewajibkanku mengkonsumsi apa saja yang dulu tidak boleh aku makan; telur, coklat, susu, keju,
ice cream, daging kambing, semuanya… harus aku makan.
Ok,
aku senang. Karena aku akhirnya bisa makan enak, tanpa pilih-pilih makanan
lagi. Tapi yang menjadi tidak nyamanku adalah. Aku harus mengkonsumsi telur
sebanyak 4 buah sehari, bahkan 6 buah. Aku yang sudah tiga tahun tidak makan
telur, merasa enek, bahkan dulu aku
membenci makanan ini karena diklaim sebagai sumber penyebab jerawat no. 1.
Mungkin
inilah kesalahanku karena aku tidak berpikir, bahwa tubuh itu membutuhkan
asupan varian gizi. Dan jika tidak dipenuhi akan mudah terkena penyakit. Aku
tak habis fikir, kenapa aku begitu bodoh tidak memperhatikan gizi tubuhku?
Padahal dulu dokter kulitku juga menyuruhku untuk menghindari makanan tersebut
selama pengobatan saja. Aku kini mengerti, bagaimana aku harus memperhatikan
dan mencintai tubuhku sendiri, karena jika bukan aku, siapa lagi? Dan kalau
sakit siapa yang menderita? aku !
Ku
jalani hari-hariku dengan berat dan penuh kepayahan. Selama empat bulan aku
seperti mayat hidup yang tak bisa bergerak. Yang normal dalam diriku hanyalah
kepala, mulut dan kedua tangan, sedang bagian tubuh aku lainnya lumpuh.
Ketidakberdayaan menyelimutiku. Aku pasrah, tak bisa apa-apa.
Baru
masuk bulan kelima, aku bisa menggerakan kakiku sedikit-sedikit. Bulan kelima
aku belajar duduk. Masuk bulan keenam aku belajar berdiri, cukup lama sekali
aku berlatihnya. Bulan ketujuh aku belajar berjalan menggunakan besi. Bulan
kedelapan belajar mengunakan tongkat, dan lepas tongkat. Bulan ke Sembilan, aku
bisa berjalan sendiri. Keluargaku menggelar syukuran atas kesembuhan aku itu.
Alhamdulillah…. Laahaulaa wa laa quwwata illaa billahil `aliyil `adziim…Tidak
daya dan tiada kekuatan kecuali dari Allah swt…
***
Setelah
setahun meninggalkan kampus, aku memberi kejutan pada teman-temanku. Katanya,
aku sekarang gemuk dan cantik. Gemuk karena aku selalu makan makanan bergizi.
Wajahku bersih karena aku cukup istirahat, diam saja di rumah, tidak sibuk
kuliah, sehingga tidak stress, dll… aku juga heran. Jadi sebenarnya, makanan
itu bukan hanya alasan satu-satunya penyebab jerawat. Aku tak percaya dengan
kekekalan wajah. Bersihnya wajahku, bisa jadi akan berubah. Bukankah memang itu
tanda kehidupan? senantiasa berubah karena perrubahan dialah dinamisasi
kehidupan.
Setelah
aku kuliah lagi, aktif organisasi lagi…
“Unga,
apa ini?”, tanya ibu sambil menyodorkan mukenaku. “Ibu mau nyuci mukena, kok ada
darah terus. Barusan kemarin kan ibu cuci mukena ini”.
“Iya.
Tapi itu kena darah Bu…”
“Bintik-bintik
darah apa ini?”
“Darah
jerawat aku, Bu…”, jawabku.
Ibu
cuma mematung, dan memperhatikan wajahku. Ia terlihat iba.
“Mau
ke dokter lagikah sayang?”, tanyanya.
“Gak
perlu, Bu. Aku capek minum obat terus. Aku baru saja sembuh dari meningitis.
Aku gak mau membebani ayah Ibu terus karena penyakit-penyakitku…”
Ibu
lalu memelukku. Aku tegar. Walau air mataku menetes kecil.
Ya…
tak lama setelah sakit, jerawatku kembali menggila. Aku titik-kan air mata,
mana kala aku selesai shalat, mendapati mukenaku bernoda merah… ketika aku
sujud, jerawat-jerawat itu yang pecah dan meningalkan darah…
Aku
yakin pemicu jerawat kali ini karena aku mulai menghadapi tugas-tugas kampus lagi
yang memicu stress, juga karena cuaca kota Cirebon yang panas, dan polusi. Aku
tidak lagi percaya bahwa makanan adalah pemicu jerawatku. Aku selalu memilih
asupan yang seimbang dan bergizi. Kalau pilih-pilih makanan lagi, aku takut… Apakah
ini karena hormon? Tapi hormon itu ada dalam tubuh aku tidak tahu bagaimana
mengendalikannya. Aku jadi teringat dengan anjuran dokterku tempo lalu, “Bunga
cepat nikah aja yah!.” Aku tutup mukaku, ingin berteriak tapi enggan.
Hhhhh….
yang pasti, masalahku ini memang tak ada habisnya. Berapa tahun sudah aku
dihantui oleh jerawat ini? Yang membuatku tak menikmati hidup. Minder di
hadapan orang-orang. Malu untuk tampil. Takut mengkonsumsi telur, daging
kambing, susu, coklat… aku yakin ada waktunya bisa sembuh total. Tapi aku tidak
tahu itu kapan? Untuk sekarang, kalimat ini yang membuatku tegar; laa haulaa
walaa kuwwata illabillhil `alaihil`adzim.
***
Drrrrtttt……drrrrrtttttttttt……drrrrrrrtttt…..
drrrrrrttttt…… handphoneku bergetar hebat, memecah lamunanku akan kejadian masa
lalu. Aku tengok HP-ku, ada panggilan masuk.
“Assalamu`alaikum,
dek Bunga, ada dimana?,”
“Wa`alaikum
salam, aku lagi di taman kampus Mbak.”
“Sekarang
mbak tunggu ke Aula untuk latihan drama”
“Mbak
serius?”
“Mbak
serius Bungaaa… ayo cepat! Yang lain sudah menunggu!”
Aku
bangkit dari lamunanku. Aku tengok bunga-bunga di taman tersebut yang telah
membawa pada alam bawah sadarku… ku petik 1 tangkai mawar untuk kubawa pulang.
oh Bunga… apakah aku bisa menjadi Bunga yang indah? Bunga yang
sebenar-benarnya? Seperti mawar?”
****
Yang
membuatku terharu adalah ketika musyrifahku memintaku untuk menjadi pemeran
utama dalam pergelaran drama acara untuk remaja. Padahal saat ini mukaku sedang
jerawatan. Gede-gede.
“Mbak,
apakah aku pantas untuk tampil di panggung sebesar itu?”
“Memangnya
kenapa?”
Aku
tunjuk pada wajahku.
“Diantara
teman-teman yang lain, mbak percaya pada Bunga untuk memerankan ini”. “Ini
bukan mau main sinetron yang pemerannya harus cantik dan good looking walaupun
kualitas acting mereka kacangan. Sekarang! No
excuse. Ok?”
Si
mbak ini maksa. Tapi aku senang ada yang bisa membaca bakatku yang terpendam
ini. Padahal sejak dulu, aku tidak pernah mendapatkann pemeran. Aku hanya
kebagian di belakang layar saja. Jadi narrator, penulis cerita atau
sutradaranya. Padahal setiap contest drama
yang aku tulis dan sutradaraiku ketika di SMA dan kampus, selalu menyabet juara
1. Kenapa aku lupa akan hal itu?
***
“Tuh
kan… bagus”. Komentar musyrifahku setelah drama selesai. Aku tersenyum puas.
“Alhamdulillah…
bagaimana mungkin, Bunga merasa diri tidak berharga?”
“Bunga
punya kemampuan yang bisa bermanfaat. Dengan jemari bunga, Bunga menulis pesan-pesan
yang bisa menggugah para penonton. Dengan teater yang digawangi Bunga. Para
penonton mendapat pesan yang sarat dengan kebaikan.”
“Cantik
atau jeleknya wajah kita, itu tidak akan dihisab Allah. Karena kalau kehendak
Allah begitu, sebesar upaya pun yang dilakukan akan tetap nihil… buat apa kita
hanya fokus pada kekurangan kita. Padahal kita punya ladang amal untuk mengabdikan
diri kita kepada orang banyak.”
“Yang
penting cantik kita harus sesuai standar Islam. Apa itu? Rosulullah saw mengatakan
“Dunia ini adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita shalihah.”
Kata beliau.
Subhanallah…
wanita shalihah disebut sebagai perhiasan bahkan perhiasan yang menyaingi
perhiasan yang ada di dunia. Untuk menjadi perhiasan tersebut, kita harus
menjadi wanita shalihah. Wanita shalihah tentunya harus selalu tampil syar`I.
kira-kira seperti apa?”, tanyanya padaku.
Aku
jawab, “Wanita itu harus memakai jilbab dan khimar.”
“Ya
betul. Harus memakai jilbab dan khimar yang telah Allah perintahkan dalam Qs.
24:31 dan Qs. 33 : 59. Selain itu wanita shalihah harus menghindari tabarruj, baik
dari wewangian, pakaian, gerakan, bunyi-bunyian dan harus bergaul dengan
syar`i. Wanita Muslimah akan memiliki pesona kecantikan manakala dia memiliki kepribadian
islam yaitu adanya pikiran dan sikap
islami.”
Setelah
dinasehati seperti itu… aku baru merasakan udara yang begitu segar dan sangat
lapang. Aku merasa percaya diri dengan diri ini. Dan aku bersyukur bahwa nikmat
Allah itu sangat besar. Jika harapanku menjadi cantik tidak terwujud di sini,
semoga di akherat kelak.
Aku
kini sangat percaya diri. Dan tak mau memikirkan apa yang dipikirkan orang lain
terhadapku. Karena benarlah… keindahan fisik itu hanya sementara. Kecantikan
ini tak abadi… logika konyolku dulu kini telah musnah. Aku dulu cantik tak lama
kemudian jerawatan lagi, sembuh, cantik, jerawatan lagi. Jika jerawat ini
adalah Mata Kuliah, berapa SKS yang harus aku lewati? Mungkin butuh 1000 SKS
untuk memahami jerawat, memahami tentang usaha manusia dan kehendak Allah.
Aku
juga melihat teman sekelasku yang dulu jadi model, ya cantik, putih, dan sexy
tersebut, aku lihat sekarang dia dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Katanya, setelah
kelahiran anaknya tersebut, dia terkena TBC yang berujung pada kematian
anaknya. Sekarang katanya lagi, suaminya malas-malasan dalam menanggung
nafkahnya. Walhasil, temanku tak ada waktu mengurus tubuhnya seperti dulu. Begitu
juga Diana yang tempo dulu pernah menyinggungku dengan membuang alas bedak
bekasku. Kini dia jerawatan pula, memang jerawatnya tak separahku. Namun wajah
putih mulus yang dulu ia banggakan kini telah hilang.
Jadi
sekarang… benarlah perkataan bijak ini:
“Ketampanan seorang
raja (kecantikan seorang ratu, red), sering kali lebih dipuja daripada sang
raja itu sendiri. Sehingga ketampanan itu berangsur redup, maka sang raja tak
ubahnya sebuah batu yang terongok dalam legenda kemegahan candi bersama
reruntuhan hartanya. Laksana bola lampu yang kita puja sinarnya, lantas
kemudian kita campakkan ketika sinarnya meredup bahkan mati”.
“Ketampanan dan
kecantikan akan digusur umur. Semakin bertambah umur, ketampanan dan kecantikan
akan ditenggelamkan alam, diterkam kekelamam makam. Ia menjadi santapan bagi
kerakusan kuburan. Ketampanan dan kecantikan akan ditinggalkan oleh kefanaan
dan hanya menjadi kemuliaan masa silam yang membelenggu perjalanan akal sehat
menuju masa depan tak berujung”.(Catatan Rindu
pada Sang Rasul, hal: 8)
Sekarang
aku tanamkan pada diriku, selalu FOKUSLAH DENGAN APA YANG AKU PUNYA DAN APA
YANG BISA AKU BISA LAKUKAN SELAMA HIDUP INI !! Jika aku hanya fokus pada
kekuranganku saja, aku hanya menunda-nunda waktu untuk berprestasi dan beramal
lebih karena takut tampil ke depan. Lagipula fisik tidak akan Allah hisab,
ketakwaanlah yang akan jadi bekal hidup kelak.
"Sesungguhnya
Allah tidak melihat kepada bentuk badan dan rupamu, tetapi Dia melihat kepada
hati mu" (HR MUSLIM)
Sungguh, rupa dan paras tidak mampu membeli cinta dan kebahagian di akhirat. semua berbalik kepada taqwa, kepada agama. Bismillah….
***
No comments:
Post a Comment