Oleh:
Ika Mustaqiroh
Azan
duhur berkumandang dari corong masjid kampusku. Memanggil penuh cinta seluruh
civitas akademika untuk bersegera menemui seruan Rabb mereka. Responnya
macam-macam. Ada yang berhamburan mendekati-Nya, ada yang cuek saja, ada juga
karena terpaksa; jam kuliah belum mengizinkan sudah.
Untuk urusan shalat, aku sendiri berusaha
istiqomah tepat waktu, selalu. Kecuali jika ada udzur (halangan) syar`i seperti
sedang kuliah atau dalam perjalanan. Begitu terdengar “Allahu Akbar! Allahu
Akbar!”, aku langsung bergegas, karena selalu tertanam di benakku
akan hadits Rasulullah Saw berikut, “Amal
yang paling utama adalah shalat di awal waktu”. (HR. Tirmidzi dan
Hakim-Kitab Bulugul Maram, Ibnu Hajar Al-Asqalani). Aku pun tak
ingin termasuk orang-orang yang lalai karena mengakhirkan waktu sembahyang. “Maka
kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari
shalatnya.” (Q.S. Al Maa`uun : 4 – 5)
Alasan lain, aku ingin menempatkan
Allah sebagai kekasih nomer satu di hatiku. Karena Allah tempatku berlindung, tempatku
bersandar dan tempatku meminta belas kasihan. Sangat keterlaluan rasanya, saat Dia
memanggil-manggilku untuk menyembah pada-Nya, tapi tidak aku sambut segera.
Bagaimana Allah mencintaiku dan mengakuiku sebagai hamba-Nya yang taat, jika
seruan-Nya saja tak aku gubris. Maka, untuk bisa mengukur seberapa besar cinta
Allah padaku, aku harus melihat dulu ke dalam hatiku, seberapa besar cintaku
pada Allah-ku.
Padahal dulu, ketika aku belum
mengikuti halaqah murakazah (pembinaan intensif), aku termasuk orang yang malas-malasan
dan lalai pada shalat, terutama ketika aku ada di kampus. Karena di mesjid
kampusku tidak ada mukena. Kalaupun ada, mukena-mukena itu tampak kotor, lusuh,
penuh noda celak dan noda daki. Aromanya bau apek. Mukena yang seperti itu
tidak layak untuk dipakai shalat. Karena, bagaimana bisa khusyu? Yang ada kita
tidak konsentrasi, sibuk nahan nafas, kulit gatal-gatal, bahkan bisa pingsan karena
wanginya tersebut. Maka dari itu, aku sering ngebelain shalat duhur atau ashar
di kostan teman. Hanya saja dengan jarak yang cukup jauh dari kampus, malah menyita
energi dan waktuku juga. Akhirnya, Shalat berjama`ah tidak, capek dan telat
masuk ke kelas, iya.
Pernah aku coba membawa
mukena parasut yang mudah dan ringan dibawa. Untuk beberapa hari memang aku
bisa shalat berjamaah menggunakan mukenaku. Tapi, beberapa lama kemudian,
mukenaku sering dipinjam teman. Terutama ketika aku sedang terburu-buru,
selepas shalat ada saja yang minjam mukenaku (gak enak juga kan kalau tidak
saya pinjamkan). Tapi setelah itu, keberadaan mukenaku jadi tidak jelas
rimbanya. Selain sulit untuk ketemuan lagi dengan peminjam mukenaku, sering para
peminjam tersebut menitipkannya ke temanku, kemudian temanku itu menitipkannya
ke temanku lagi. Walhasil, tidak jelas sudah.
Seandainya aku boleh
berharap, aku ingin jadi laki-laki saja. Tanpa repot membawa-bawa mukena.
Tinggal wudhu, terus shalat deh, simpel.
Bertemu Para Aktifis
Setelah melewati satu
semester, aku mulai tertarik mengikuti kajian kemahasiswaan di kampus. Berbagai
organisasi aku sambangi untuk mencari gerakan mahasiswa mana yang pas di hati, cocok dengan minat dan bakat,
serta sesuai dengan visi-misi hidupku (halah!). Singkat cerita, terpilihlah
satu organisasi kampus yang membuatku semakin yakin dan cinta dengan Islam.
Karena keputusan itu, akhirnya aku sering berinteraksi dengan
aktifis-aktifisnya. Ada yang unik, pakaian mereka itu sangat berbeda. Mereka
selalu memakai pakaian gamis dan kerudung yang panjang. Ajaibnya, mereka shalat
dengan pakaian keseharian mereka di kampus. tanpa mukena.
Saat ditanya, “Mbak, emang
boleh tah shalat gak pake mukena?”
Mbak yang saat itu aku tanya,
namanya mbak Ani. Beliau menjawab, “Boleh, kenapa tidak, De? pakaian
sehari-hari muslimah itu sama dengan pakaian shalatnya.”
“Oh begitu”
“Sebenarnya, mukena dan
sarung itu lebih trend sebagai perangkat shalat di
Indonesia. Kalau di luar negeri itu tidak De.”
“Iya juga sih, aku pernah
dengar itu.”
“Jika pakaian sehari-hari
kita suci dari najis dan menutup aurat, yakni menutup seluruh bagian tubuh
kecuali pergelangan tangan dan muka, kita boleh menggunakannya untuk shalat.”
“Kalau pakaian kayak aku ini
bisa dipake shalat nggak?”
Mba Ani cuma tersenyum dan
berkata,
“Mau dijawab jujur atau
bohong?”
“Jujur donk…hehe…”
“Pakaian ini belum memenuhi kriteria,
De”. Beliau memegangi ujung kerudungku. “Satu, kerudungmu cilik pisan, De. Harusnya terulur sampai ke bawah dada. Dua…baju kaosmu
terlalu pas, jadinya bentuk tubuhmu masih kelihatan. Tiga…rokmu berbahan tipis,
kalo berdiri dua kakimu masih kelihatan. Itu aurat, De…. Dan terakhir…. Kakimu
tidak berkaos kaki. Kaki ini wajib ditutupi…”
Aku sunyam-senyum nahan malu.
“Iya insyaAllah, mbak… kapan-kapan aku laksanakan”, janjiku sambil cengengesan.
“Aamiiin… Penting untuk
diketahui,” Mbakku mulai ceramah.
“Sebenarnya, ada dua jenis
pakaian yang harus dipakai oleh muslimah. Pertama khimar (kerudung) dan kedua
jilbab (baju kurung/ gamis). Perintah memakai khimar sendiri tertera dalam Qs.
An-Nur : 31 yang artinya:
“Dan hendaklah mereka mengulurkan kerudungnya
(khimar) atas kerah bajunya (juyuub) mereka”.
Maka, arti khimar (kerudung)
adalah apa yang dapat menutupi kepala, leher dan dada tanpa menutupi muka, yang
panjangnya sebatas ini”, ia menggeraikan kerudungnmya sampai bawah dada.
“Sedangkan jenis yang kedua
adalah jilbab atau baju kurung atau gamis. Perintah ini tertera dalam Qs.
Al-Ahzab ayat 59:
“Hai
Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri
orang mu'min,'Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbabnya ke seluruh tubuh
mereka.”
Nah, jilbab ini adalah
pakaian budaya arab, tapi dengan turunnya ayat ini, maka jilbab jadi budaya
Islam dan menjadi pakaian wajib bagi muslimah di seluruh dunia ketika mereka
keluar rumah atau ketika bertemu laki-laki non-mahram. Kalau mau lebih
jelasnya, nanti mbak bawakan buku yang membahas pakaian syar`i muslimah ya”.
Berubah lebih syar`i
Setelah lamanya berinteraksi,
diskusi dan membaca buku-buku tentang pakaian muslimah, perlahan tapi pasti aku
tidak lagi memakai kerudung blus pendekku, rok-rok ngatung - tipisku, dan baju
kaos ketatku. Aku menggantinya dengan kerudung dan jilbab yang syar`i, tak lupa:
kaos kaki.
Awalnya memang susah tuk dimulai,
tapi lama kelamaan aku merasa nyaman. Dan kenyamanaan ini sulit aku gambarkan.
Aku bersyukur dengan perubahan ini. Seandainya aku tak bertemu Mbak Ani dan
para aktifis organisasi, mungkin aku masih asal-asalan dalam berbusana.
Dengan pakaian seperti ini
aku tak punya alasan lagi untuk menunda shalat ketika berada di kampus atau
dimanapun. Karena aku tak perlu repot-repot lagi membawa mukena. Toh, aku
tinggal wudhu saja, ganti kaos kaki kalau diperlukan (kalau basah atau sudah
bau, hehe), aku bisa langsung shalat dan mengamalkan hadits ini “Amal
yang paling utama adalah shalat di awal waktu”. Ahhhhh…. Sudah mah syari`i, nyaman, praktis lagi. Alhamdulillah
Ajiiiiibbb ^_^
jika kita mengambil hidayah yang pertama, maka hidayah2 berikutnya akan di buka oleh Allah, karena banyak juga orng yang nyata-nyata udah disampaikan dengan penjelasan yang mendalam, masih juga ogah-ogahan,,,
ReplyDeleteBegitulah...semoga kita bisa menangkap hidayah-hidayah sehingga selalu berada dalam rel yang lurus... :)
Delete