Tuesday 2 October 2012

Pakaianku, mukenaku


Oleh: Ika Mustaqiroh

Azan duhur berkumandang dari corong masjid kampusku. Memanggil penuh cinta seluruh civitas akademika untuk bersegera menemui seruan Rabb mereka. Responnya macam-macam. Ada yang berhamburan mendekati-Nya, ada yang cuek saja, ada juga karena terpaksa; jam kuliah belum mengizinkan sudah.
Untuk urusan shalat, aku sendiri berusaha istiqomah tepat waktu, selalu. Kecuali jika ada udzur (halangan) syar`i seperti sedang kuliah atau dalam perjalanan. Begitu terdengar “Allahu Akbar! Allahu Akbar!”, aku langsung bergegas, karena selalu tertanam  di benakku  akan hadits Rasulullah Saw berikut, “Amal yang paling utama adalah shalat di awal waktu”. (HR. Tirmidzi dan Hakim-Kitab Bulugul Maram, Ibnu Hajar Al-Asqalani). Aku pun tak ingin termasuk orang-orang yang lalai karena mengakhirkan waktu sembahyang. “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (Q.S. Al Maa`uun : 4 – 5)
Alasan lain, aku ingin menempatkan Allah sebagai kekasih nomer satu di hatiku. Karena Allah tempatku berlindung, tempatku bersandar dan tempatku meminta belas kasihan. Sangat keterlaluan rasanya, saat Dia memanggil-manggilku untuk menyembah pada-Nya, tapi tidak aku sambut segera. Bagaimana Allah mencintaiku dan mengakuiku sebagai hamba-Nya yang taat, jika seruan-Nya saja tak aku gubris. Maka, untuk bisa mengukur seberapa besar cinta Allah padaku, aku harus melihat dulu ke dalam hatiku, seberapa besar cintaku pada Allah-ku.
Padahal dulu, ketika aku belum mengikuti halaqah murakazah (pembinaan intensif), aku termasuk orang yang malas-malasan dan lalai pada shalat, terutama ketika aku ada di kampus. Karena di mesjid kampusku tidak ada mukena. Kalaupun ada, mukena-mukena itu tampak kotor, lusuh, penuh noda celak dan noda daki. Aromanya bau apek. Mukena yang seperti itu tidak layak untuk dipakai shalat. Karena, bagaimana bisa khusyu? Yang ada kita tidak konsentrasi, sibuk nahan nafas, kulit gatal-gatal, bahkan bisa pingsan karena wanginya tersebut. Maka dari itu, aku sering ngebelain shalat duhur atau ashar di kostan teman. Hanya saja dengan jarak yang cukup jauh dari kampus, malah menyita energi dan waktuku juga. Akhirnya, Shalat berjama`ah tidak, capek dan telat masuk ke kelas, iya.
Pernah aku coba membawa mukena parasut yang mudah dan ringan dibawa. Untuk beberapa hari memang aku bisa shalat berjamaah menggunakan mukenaku. Tapi, beberapa lama kemudian, mukenaku sering dipinjam teman. Terutama ketika aku sedang terburu-buru, selepas shalat ada saja yang minjam mukenaku (gak enak juga kan kalau tidak saya pinjamkan). Tapi setelah itu, keberadaan mukenaku jadi tidak jelas rimbanya. Selain sulit untuk ketemuan lagi dengan peminjam mukenaku, sering para peminjam tersebut menitipkannya ke temanku, kemudian temanku itu menitipkannya ke temanku lagi. Walhasil, tidak jelas sudah.
Seandainya aku boleh berharap, aku ingin jadi laki-laki saja. Tanpa repot membawa-bawa mukena. Tinggal wudhu, terus shalat deh, simpel.

Bertemu Para Aktifis
Setelah melewati satu semester, aku mulai tertarik mengikuti kajian kemahasiswaan di kampus. Berbagai organisasi aku sambangi untuk mencari gerakan mahasiswa  mana yang pas di hati, cocok dengan minat dan bakat, serta sesuai dengan visi-misi hidupku (halah!). Singkat cerita, terpilihlah satu organisasi kampus yang membuatku semakin yakin dan cinta dengan Islam. Karena keputusan itu, akhirnya aku sering berinteraksi dengan aktifis-aktifisnya. Ada yang unik, pakaian mereka itu sangat berbeda. Mereka selalu memakai pakaian gamis dan kerudung yang panjang. Ajaibnya, mereka shalat dengan pakaian keseharian mereka di kampus. tanpa mukena.
Saat ditanya, “Mbak, emang boleh tah shalat gak pake mukena?”
Mbak yang saat itu aku tanya, namanya mbak Ani. Beliau menjawab, “Boleh, kenapa tidak, De? pakaian sehari-hari muslimah itu sama dengan pakaian shalatnya.”
“Oh begitu”
“Sebenarnya, mukena dan sarung itu lebih trend sebagai perangkat shalat di Indonesia. Kalau di luar negeri itu tidak De.”
“Iya juga sih, aku pernah dengar itu.”
“Jika pakaian sehari-hari kita suci dari najis dan menutup aurat, yakni menutup seluruh bagian tubuh kecuali pergelangan tangan dan muka, kita boleh menggunakannya untuk shalat.”
“Kalau pakaian kayak aku ini bisa dipake shalat nggak?”
Mba Ani cuma tersenyum dan berkata,
“Mau dijawab jujur atau bohong?”
“Jujur donk…hehe…”
“Pakaian ini belum memenuhi kriteria, De”. Beliau memegangi ujung kerudungku. “Satu, kerudungmu cilik pisan, De. Harusnya terulur sampai ke bawah dada. Dua…baju kaosmu terlalu pas, jadinya bentuk tubuhmu masih kelihatan. Tiga…rokmu berbahan tipis, kalo berdiri dua kakimu masih kelihatan. Itu aurat, De…. Dan terakhir…. Kakimu tidak berkaos kaki. Kaki ini wajib ditutupi…”
Aku sunyam-senyum nahan malu. “Iya insyaAllah, mbak… kapan-kapan aku laksanakan”, janjiku sambil cengengesan.
“Aamiiin… Penting untuk diketahui,” Mbakku mulai ceramah.
“Sebenarnya, ada dua jenis pakaian yang harus dipakai oleh muslimah. Pertama khimar (kerudung) dan kedua jilbab (baju kurung/ gamis). Perintah memakai khimar sendiri tertera dalam Qs. An-Nur : 31 yang artinya:
“Dan hendaklah mereka mengulurkan kerudungnya (khimar) atas kerah bajunya (juyuub) mereka”.
Maka, arti khimar (kerudung) adalah apa yang dapat menutupi kepala, leher dan dada tanpa menutupi muka, yang panjangnya sebatas ini”, ia menggeraikan kerudungnmya sampai bawah dada.
“Sedangkan jenis yang kedua adalah jilbab atau baju kurung atau gamis. Perintah ini tertera dalam Qs. Al-Ahzab ayat 59:
“Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min,'Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.”
Nah, jilbab ini adalah pakaian budaya arab, tapi dengan turunnya ayat ini, maka jilbab jadi budaya Islam dan menjadi pakaian wajib bagi muslimah di seluruh dunia ketika mereka keluar rumah atau ketika bertemu laki-laki non-mahram. Kalau mau lebih jelasnya, nanti mbak bawakan buku yang membahas pakaian syar`i muslimah ya”.

Berubah lebih syar`i
Setelah lamanya berinteraksi, diskusi dan membaca buku-buku tentang pakaian muslimah, perlahan tapi pasti aku tidak lagi memakai kerudung blus pendekku, rok-rok ngatung - tipisku, dan baju kaos ketatku. Aku menggantinya dengan kerudung dan jilbab yang syar`i, tak lupa: kaos kaki.
Awalnya memang susah tuk dimulai, tapi lama kelamaan aku merasa nyaman. Dan kenyamanaan ini sulit aku gambarkan. Aku bersyukur dengan perubahan ini. Seandainya aku tak bertemu Mbak Ani dan para aktifis organisasi, mungkin aku masih asal-asalan dalam berbusana.
Dengan pakaian seperti ini aku tak punya alasan lagi untuk menunda shalat ketika berada di kampus atau dimanapun. Karena aku tak perlu repot-repot lagi membawa mukena. Toh, aku tinggal wudhu saja, ganti kaos kaki kalau diperlukan (kalau basah atau sudah bau, hehe), aku bisa langsung shalat dan mengamalkan hadits ini “Amal yang paling utama adalah shalat di awal waktu”. Ahhhhh…. Sudah mah syari`i, nyaman, praktis lagi. Alhamdulillah Ajiiiiibbb ^_^

 

2 comments:

  1. jika kita mengambil hidayah yang pertama, maka hidayah2 berikutnya akan di buka oleh Allah, karena banyak juga orng yang nyata-nyata udah disampaikan dengan penjelasan yang mendalam, masih juga ogah-ogahan,,,

    ReplyDelete
    Replies
    1. Begitulah...semoga kita bisa menangkap hidayah-hidayah sehingga selalu berada dalam rel yang lurus... :)

      Delete