Monday, 14 May 2012

This story is entitled "a Beautiful Friendship"

Sore ini, sambil iseng-iseng aku kembali beraksi menjelajah dan menyelami profile picture beberapa teman di facebook. Sekedar mengetahui progress kehidupan mereka, setelah sekian tahun jauh dari pantauan. Jauh dari mata, mulut, telinga, hati dan pikiran. Sekedar mengetahui perubahan dan pencapaian mereka saat ini.

Sebuah pp mencuri perhatianku. Potret balita laki-laki dalam pp akun sahabatku yang kini telah menjadi ibu. Potret itu... ya... seperti kebanyakan para ibu dan ayah muda, mereka berbahagia memasang foto putra-putri mereka. Tersenyum aku. Tak disangka, si kecil itu mampu mengantarkanku pada masa-masa remaja saat bersama mamanya.....

****


"Sudah... jangan sedih melulu", suara teh Evi memecah kegalauanku.

"Bagaimana ga sedih, jika ternyata di sini bukan tempatku. Dan jika bahagia tidak menyapaku", balasku sekenanya.

"Eiy, siapa bilang... Insya Allah di sini tempatmu, tempatmu untuk menuntut ilmu, tempatmu mencari kebahagian bersama teman-teman", ungkapnya meyakinkan.

"Buktinya?",tantangku.

"Teteh di sini betah, mau 3 tahun". Ia lalu melanjutkan, "Jalani aja dulu, dan hadapi dengan senyuman", ajaknya memberi semangat.

Teh Evi inilah orang pertama yang aku kenal, melihatku ketakutan menjalani masa transisi ini. Transisi dari masa Sekolah Dasar ke Tsanawiyah, yang terjadi di negeri Cijati.

"Lihat ke sana Ka, dia juga anak baru tapi tinggal di kobong (asrama) sebelah".

Kami lalu mendekatinya yang sedang jajan di koperasi yayasan. Tak lama kemudian kami pun berkenalan.

"Tepangkeun nami abi Fifit", sapanya begitu akrab. "Ini Ika ya?", tanyanya.
Ih, anak ini kok tau namaku sih. "Iya... Namaku Ika...", jawabku sambil meraih jabat tangannya.

Kami pun berkenalan lebih dari sekedar mengetahui nama saja. Ternyata, dia orang hilir, Tanjung Sari-Sumedang. Terdampar lebih jauh dibanding aku. Aku suka sekali berbincang-bincang dengannya, meskipun untuk pertama kalinya. Karena anak perempuan yang berperawakan tinggi besar tersebut, memiliki lentong bahasa yang nyunda. Mendengarnya bercerita, aku jadi rindu tahu Sumedang. 'tahu... tahu... tahu... dua rebu sabungkus... tahu... tahu' hehehe

"Fit, kamu mau pulang kapan?"

"Ga tau, kata ibu mah disuruh bulan depan"

"Aku mah hari Sabtu mau pulang..."

"Ih, baru aja kemarin ke sini udah mau pulang"

"Pokoknya mau pulang", jawabku keukeuh.

Yah, meskipun orang tua berjanji akan menjemputku dua minggu ke depan, aku tak kuasa menunggunya. Teh Evi berjanji akan mengantarku pulang sampai ke terminal Kadipaten. Tunggu saja aku bisa pulang sendirian.

***

Ternyata... ternyata... aku jadi ingin tertawa mengingatnya. Merencanakan kabur dari pondok sejak hari pertama, ternyata jadi berbuah mangga. Tak disangka hidup di sini nyaman dan  tidak susah juga. Hal pertama yang membuatku takut sebenarnya adalah pelajaran di pesantrennya. Tapi semua ketakutan itu menghilang, setelah malam kedua aku disuruh membaca iqra saat ditest ngaji oleh A Ended, salah satu pengasuh pondok sekaligusorang tuaku di asrama. Aku disodorkan dari iqra 1 sampai juz amma. Kurang dari 5 menit aku cecar menjawab instruksinya untuk membaca yang ini itu, halaman ini itu, surat ini itu. Nyaris diselesaikan dengan sempurna!!!
Sesuatu yang membuatku sangat bahagia dan bangga adalah ketika mengetahui banyak dari anak-anak baru yang kurang bagus ngajinya, belum rapi bacaan tajwid dan makhorijul hurufnya. Mungkin mereka tidak diajari oleh guru yang seperti ayahku. Ah... sepertinya akan betah... selamanya… >.

****

"Haduh... PR Bahasa Inggris di LKS belum. Tes tahfiz Surat Al-Fajr tadi, bulak balik bekok wae, jadi weh teu lulus-lulus", gerutuku di pagi hari.
"Mending, aku mah masih keneh Al-Bayinah. PR Matematika oge acan abi mah, Ka…", timpal Fifit yang senasib seperjuangan jadi anak sekolahan dan pondokan .
Begitulah, hari-hari kami memang selalu diisi dengan ibadah dan belajar (walaupun ada aktifitas lainnya, tapi sudah lah ya jangan disebutkan, biar keren, heuheu…^o^).  Setiap pagi, setelah subuh berjamaah kami mendapat pelajaran qira'at/tahfidz Qur'an sampai jam 6. Jam 7 sampai jam 2 siang sekolah. Setelah magrib sampai jam 9 malam membedah kitab; As-Syafinah, Az-Zurmiyah, Ta'lim Muta'lim, dll. Terkadang kami selalu kebingungan mengatur waktu dan memilih mana pekerjaan dan tugas pelajaran yang harus didahulukan dan diprioritaskan.

Walaupun begitu kami senang menjalaninya terlebih ketika aku dan dia tinggal dalam satu asrama. Sehingga banyak aktifitas yang dijalani bersama-sama.

"Cupiiit, hujaaann... jemuran!!!", teriaku di kelas. Aku yang waktu pagi nyuci bareng, berlarian turun dari lantai 2 kelas untuk menyelamatkan pakaian kami agar tak terguyur hujan. Jarak kelas, asrama, mesjid dan lain sebagainya terletak dalam satu komplek. Jemuran kami pun terlihat dari balik jendela sampai lantai 2.

Kalau belajar ngaji sama Haji Toto, Fifit selalu bilang, "Aduh serak-serak, gaswat", katanya.

"Kenapa lagi?"

"Kalo mau nyebut huruf 'kho' dan 'gho', suaraku ilang", terangnya.

"Siap-siap ngendog! hahay", godaku.

Kalau belajar ngaji dengan Kiyai yang satu ini mantaf surantaf. Al-fatihah saja aku lulus satu bulan. Padahal menurutku makharijul hurufku udah bagus. Tapi standar beliau ini kebangetan, untukmengeluarkan suara kho,  gho, dzo, dza, waaa... harus perfect, harus kedengaran kkkhhrrhh-nya. harus keliatan monyongnya. Artikulasinya jelas, dan lain sebagainya.
Apalagi kalau sudah belajar Nahwu Shorof, Jurmiyah dan Alfiyah yang beliau sampaikan dengan bahasa Jawa, aku suka bilang sama Fifit,

"Fit... ciwit...", pintaku padanya yang kebetulan duduk di sampingku.

"Apa kaka, Fit juga tunduh... 5 watt yeuh..."

"Aduuh…teu ngarti ngomong naon sih…", kataku.

"Heum, hoyong enggal gedebuk sare di kobong, Ka…", responnya.

Tiba-tiba terdengar suara, DUUUUTTT....

"Hah, suara apaan tuh?", kataku. Rasa kantukku agak mereda, kaget dengan bom tersebut.

Semua santri ketawa-tawa dan ruangan jadi ribut.

"Wah... wah... si Aris hitut", kata si Aep.

Semua tertawa. "Ih, Fit, siapa yang kentut?", tanyaku yang masih setengah sadar.

"Pak Toto, heuheu", timpalnya.

"Ya Allah... hahaha...".
Begitulah, para santri pernah dikentutin oleh kiyainya. Hahaha… semoga kentut yang membawa berkah, dan membuat santri jadi pintar seperti beliau. -_+

***"Fit, ntar kalo mau piket bangunin nya...", pintaku. "Aku mau tidur lagi, hoam...". Entahlah kenapa setelah subuh ini aku merasa tubuhku lelah dan mataku berat. Karena pada hari minggu teman-teman se-asrama pulang dan tidak ada kegiatan pagi. Aku berencana tidur lagi.

"Iya, Fit juga mau tidur lagi". Jawabnya.

Saat itu aku cuma berdua. Tak ada siapa-siapa. Terdengar bel dibunyikan, teeettt... pertanda santri agar turun. Aku merasa dia membangunkanku, tapi... males... ngantuk... kegiatan PII sore kemarin sepertinya menguras energi dan pikiranku. Aku masih melanjutkan tidurku.

Cahaya mentari mulai menghangat, sinarnya mengendap-ngendap dari jendela yang tak ada kacanya. Dan dari dua jendela yang sudah tidak jelas warna beningnya. Keringat mulai mengucur, suara tilawah terdengar dari mesjid Mambaul Hikam. Aku terbangun. Kaget.

"Fit, masya Allah...", aku langsung merapikan pakaianku dan segera turun dari kamar asrama untuk menemuinya.

Betapa terkejut saat mengetahui piring-piring dan perabotan dapur yang kemarin kotor dan tergeletak di tempat cucian, kini kondisinya kinclong dan berjajar rapi di rak piring. Lantai rumah pun bersih dan tercium wangi hutan cemara. Lalu kubuka tudung saji di meja makan santri, sarapannya... nasi dan lauk pauknya telah ada di sana. Menyaksikan itu semua... air mataku meleleh, Fifit mengerjakan semuanya seorang diri tanpa bantuanku. Hatiku pecah setelah menengok jarum jam dinding yang menunjuk angka 10.
Aku benci diri sendiri.

Segera aku cari sahabatku di setiap sudut rumah. Di dapur, kamar mandi, ruang tengah, ruang tamu, hingga akhirnya bertemu teh Enda.

"Eh... kirain Ika pulang", katanya.

"Mm... ada teh... baru bangun", jawabku gugup.

"Kirain pulang... soalnya teteh liat Fifit dari pagi sendirian aja"

Terdengar olehku ucapan beliau sedang menyindirku. Huhuhu...

"Teh... liat Fifit enggak?", tanyaku memberanikan diri.

****

Bergegas aku keluar asrama. Menurut keterangan teh Enda, Fifit ada di mesjid, sedang menjamu jama'ah pengajian. Aku pun menuju mesjid lalu duduk di emperannya, mencari-cari adakah sosok yang ku cari ada di sini?

Dari belasan jama'ah, tak ada yang seperti rupanya. Kurasa tidak ada. Aku tidak menemukan batang hidungnya.  Hingga seseorang menyarankanku untuk mencari di koperasi karena melihatnya berjalan ke arah sana.

Duh, semoga benar. Aku ingin sekali menemuinya dan meminta maaf atas kelalaianku padanya. Terlebih kejadian ini bukan untuk pertama kalinya, kejadian yang ke-3. Padahal aku sudah berjanji untuk tidak mengulanginya... Tapi ternyata...

"Ga ada Ka, belum liat Fifit ke sini", terang teh Ina, petugas koperasi, saat aku bertanya ada dia tidak.

Begitu sulit aku mencari. Jangan-jangan dia memang menghindariku, menjauhiku, tidak ingin bertemu mukaku. Dan kau membenciku. Dan menolak menjadi temanku lagi.  Oh...
Jika ternyata dia marah padaku dan membenciku, aku terima. Memang itulah ganjaran yang pantas untukku. Sahabat yang hanya membuat kecewa. Luka. Tak bisa diandalkan saat tidak ada orang lain selain aku.

Aku berjalan dalam derap penyesalan, rasa kasihan dan harapan untuk dimaafkan. Ah... begitu mudah aku mengucap maaf, dia mungkin tak butuh itu. Dia butuh tanggung jawabku. Kesetiaan dan kesediaan dariku.

Tiap tangga menuju kamar aku laju, masih membawa pertanyaan itu, kemanakah Fifitku? Aku ingin bertemu dia walau resiko murka yang kuterima. Kubuka pintu dan pandanganku mendapatkan jawaban.
Oh... Dia... dia... dia yang kucari-cari ternyata ada di sini. Terbaring damai di alam mimpi. Mukanya lelah, kusut, aku yakin dia belum mandi karena mengurus tugas rumah seorang diri dari pagi. Aku tak mampu berkata-kata, hanya air mata yang semoga sampai ke dalam mimpinya. Aku minta maaf... janji tak kan mengulangi kelalaianku lagi...

*****

Tak terasa air mataku merembes mengingati masa-masa itu. Lelaki kecik ini berhasil membuka tabir suka-duka dan dosa-dosaku pada mamanya. Ingin sekali aku berbisik di telinga mungilnya dan berkata:


“De Putra sayang… sampaikan salam dari tante Ika ya. Kirimkan permintaan maaf  kepada mamamu, persembahkan juga rasa cinta dan rindu yang sendu dariku. Kataka… Tante ingin berjumpa segera dengannya…. ^_^”






No comments:

Post a Comment