Malam ini aku menonton film
“Fetih 1453”. Aku menonton dengan cara yang berbeda. Bukan nonton di bioskop,
bukan nonton depan computer/ laptop, bukan pula di depan layar TV (ini mah ga
bisa kale…). Tapi aku nonton sambil nobar-an alias layar tancep-an di depan
rumahku bersama keluarga dan para tetangga. kebetulan a Sesep sudah meminjam in
focus untuk kegiatan syarikah besok, entah apa kegiatannya? Denger-denger sih
acara Jalasah Muna Ikhwan, (Bentuk acaranya, aku gak tau ;P). Dan kebetulan ada
netbook punyaku. Jadinya kita serumah bisa nobar-an deh.
Aku dan keluarga sih
antusias banget nonton. Terlebih ada yang bisa aku laporkan pada Hande Cogalmiᶊ, sahabatku dari Turkey,
bahwa aku bisa nonton film asli garapan orang Turkey yang sebelumnya tidak
pernah film-film made in Turkey berseliweran di Indonesia. Selain itu, karena
kami sudah memiliki ma`lumat sabiqah (informasi awal) tentang
kisah sejarah penaklukan Konstantinopel dari perhalaqahan di Hizbut Tahrir,
tentang apa kehebatannya, apa nilai moral dan ruhiyahnya, dan apa nilai plus
yang menyebabkan film ini sangat perlu ditonton?
Namun antusiasme ini
sepertinya tidak ada di benak para tetangga. Mereka masih sedikit aneh apalagi
debngan bahasa di film tersebut yang menggunakan bahasa Turkish asli dengan
terjemahan bahasa Indonesia. Sepertinya terlalu berat untuk ditonton mereka.
Tapi setidaknya ini semakin menggambarkan kondisi penaklukan Konstantinopel
padaku secara pribadi dan keluargaku (apa, dadan, uwa enok, a sesep dan teh
ena).
Hanya sjaa, ada hal yang
bikin aku illfeel dengan film tersebut,
1. Kenapa
istri sulthan mehmet (khalifah) tidak menutup auratnya dengan sempurna?
2. Kenapa
wanita muslim yang membuat meriam malah memadu kasih dengan Hassan?
3. Kenapa pula
banyak adegan-adegan seronok seperti ciuman, pakaian terbuka, tarian vulgar
yang ditayangkan 2 kali dalam film tersebut?
Aku pikir, pembuat film ini
adalah antek-antek sekuler seperti halnya Hanung Bramayanto yang giat banget
membuat film-film yang mencoreng agama Islam seperti ayat-ayat cinta, perempuan
berkalung sorban, dan (apa sih yang ada adegan fight itu? -_-`
lupaaaa) yang film-nya seolah Islami malah penuh dengan propaganda
mendeskritkan islam. Aku sangat kecewa dengan film ini. Dan menyesal malah
dinobarkan dengan para tetangga.
Dan kekecewaanku semakin
mejadi-jadi saat aku meneruskan menonton sinetron “InsyaAllah ada jalan”
(karena aku dapat info, kalau malam ini adalah sinetron episode terakhir). Tapi
dengan ending cerita yang super duper geje. Masak selama 40 hari pencarian
ustad Basofi bersama Fadly, Maher Zain tidak bertemu dengan beliau. Alias
upayanya selama ini nihil. Tiba-tiba Maher harus segera ke BAndara untuk balik
ke Swedia, tanpa ketemu dulu dengan ustadz Basofi. Cepek deh!!! *.*!!!
Aku janji, mulai malam ini
aku harus belajar serius menulis scenario film. Sebab, sampai saat ini aku Cuma
bisa mengkritik-kritik doang. Itu tidak bijak. Aku harus belajar. Aku ingin
mempersembahkan tontonan yang menarik untukku, keluargaku, anak-anak didikku,
dan masyarakat seluruhnya.
Modal semangat saja tidak
cukup. Harus ada upaya nyata dengan menulis dan berkarya. yeah!
No comments:
Post a Comment