Kasus
kejahatan seksual kini terus meningkat dan brutal karena pelakunya merupakan orang-orang
terdekat korban. Seperti yang menimpa gadis kecil berusia 8 tahun,
warga Kec.Harjamukti Kota Cirebon, yang dicabuli oleh calonsuami ibunya, Gareng
(nama samaran, 40 tahun). (Kabar Cirebon,
29/1/2013).
Kalau kita cermati, ada banyak faktor pemicu kejahatan seksual terhadap
anak. Pertama, media pornografi dan pornoaksi baik dalam internet, film, dan majalah yang begitu mudah diakses.
Kedua, seolahmenjaditren mode, banyak
wanita (dewasa/remaja) mengumbar aurat dan sensualitas di tempat umum dengan pakaian seronok
seperti rok mini, celana pendek, dsb. Kalaupun tidak memicu langsung, sensualitas ini bisa memupuk nafsu seks, layaknya pupuk tanaman.
Ketiga, kondisi rumah tangga yang tidak harmonis yang memperburuk situasi. Sejumlah kasus kejahatan seksual
pada anak diantaranya karena penolakan istri untuk melayani suaminya dengan
alasan lelah bekerja seharian.
Keempat, sanksi hukum yang ada ringan dan tidak memberi efek
jera sehingga kekerasan seksual pada anak-anak danwanitakian sulit dihentikan.
Dalam sistem hukum yang ada selain ancaman hukumannya masih ringan, masih
ditambah pilihan hukuman minimal dan maksimal. Padahal hukum seharusnya menjadi
palang pintu terakhir memberantas kejahatan.
Kelima ,faktor kian pudarnya ketakwaan masyarakat kepada Allah SWT. Padahal
ketakwaan adalah rem yang paling efektif bagi individu untuk tercegah dari
perbuatan keji dan mungkar. Namun system Negara sekuler demokrasi dan liberal yang diadopsi Negara kitaseperti sekarang, ketakwaan dianggap tidak penting bahkan agama disingkirkan dari kehidupan.
Inilah akar masalahnya. Karena itu terus meningkatnya kejahatan seksual pada anak-anak adalah bukti
gagalnya sistem sekuler melindungi anak.
Berbeda dengan demokrasi dan
liberalisme yang meminggirkan ketakwaan, system Islam (yaitu system syari`ah dalam naungan Khilafah) justru menjadikan iman dan takwa sebagai pondasi kehidupan masyarakat.
Takwa-lah yang membuat seorang muslim akan sungguh-sungguh melaksanakan
perintah Allah meskipun berat, dan akan berusaha keras meninggalkan perbuatan
keji dan mungkar meski syahwatnya bergejolak. Masyarakat juga dibentuk dan
dijaga dengan syariat Islam agar menjaga ketakwaan secara menyeluruh. Penguasa
yakni khalifah tidak akan segan-segan memberikan sanksi bagi pelaku, pembuat
dan pengedar pornografi meski dengan dalih seni sekalipun.
Kaum muslimah diwajibkan mengenakan
kerudung dan jilbab manakala keluar dari rumah mereka karena tahu itu adalah
perintah Allah SWT. yang akan membawa mereka ke dalam kebaikan. Isteri yang bekerja seringkali karena dipaksa oleh kemiskinan.
Kemiskinan masih menghantui sekitar 29 juta
warga negeri ini karena sistem sekuler kapitalisme gagal mendistribusikan
kekayaan secara merata dan adil. Kekayaan justru dialirkan kepada kelompok
kecil orang kaya.Maka, secara ekonomi, penerapan Sistem Ekonomi Islam akan
memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok (papan,pangan dan sandang) serta
kebutuhan dasar (pendidikan, kesehatan dan keamanan) bagi seluruh rakyat.
Sehingga para istri tidak perlu
bekerja, mereka harus mengutamakan aktifitas mereka di rumah tangga seperti
melayani suami dengan sebaik-baiknya.Karenaitu adalah kewajiban sedangkan
menolaknya akan mendatangkan laknat dari Allah SWT.Jika dengan semua itu masih
ada orang melakukan kejahatan seksual,maka palang pintu terakhir untuk
melindungi masyarakat adalah menerapkan sanksi pidana sesuai hukum Allah.
Dalam Islam, pelaku
perkosaan akan diganjar hukuman layaknya pezina. Bila belum menikah maka akan
dikenakan seratus kali jilid (QS an-Nur [24]: 2). Sedangkan bila telah menikah
maka akan dirajam hingga mati. Pelaksanaan hukuman itu harus dilakukan
dihadapan khalayak (QS an-Nur [24]: 2). Tentu
saja korban tidak termasuk yang mendapat sanksi karena statusnya sebagai korban
yang teraniaya. Hukuman yang keras ini akan melindungi anak-anak dan kaum
wanita serta memberikan rasa keadilan bagi korban.
Untuk itu marilah kita bersama-sama
perjuangkan Khilafah agar kejahatan seksual terhadap anak saat ini tidak subur terjadi.
(Ika Mustaqiroh)